Bagikan:

JAKARATA - Keinginan para pengemudi ojek online (ojol) yang menuntut adanya legalitas status dinilai perlu pertimbangan yang matang oleh para pengemudi ojol sebagai pekerja tidak tetap atau gig.

"Jika statusnya hubungan kerja, maka para pengemudi ojol juga harus siap dengan konsekuensinya, seperti harus siap dirumahkan jika bisnis sedang tidak bagus dan terpaksa ada pengurangan tenaga kerja," kata Pakar hukum ketenagakerjaan dari Universitas Brawijaya Budi Santoso dilansir ANTARA, Selasa, 10 September.

Secara praktik, kata Budi, sejatinya sudah ada platform perusahaan kurir atau pengantaran barang yang status pengemudinya adalah pekerja.

"Namun, karena bisnis sedang tidak baik, belum lama ini perusahaan itu melakukan efisiensi dan mengurangi jumlah sumber daya manusia (SDM)-nya. Itu juga harus jadi pertimbangan para pengemudi ojol ketika mengajukan tuntutan," ujarnya.

Selain itu, jika status ojol diformalkan, maka aplikator sebagai perusahaan pemberi kerja juga memiliki hak dalam menentukan atau meningkatkan persyaratan dalam merekrut pekerjanya, misalnya, dari sisi usia pekerja maksimal 30 tahun.

Padahal saat ini, banyak pengemudi ojol yang usianya sudah di atas 40 tahun.

"Sehingga besar kemungkinan akan banyak ojol yang tidak masuk kriteria oleh aplikator. Sementara dengan usia tersebut, mereka juga akan kesulitan mencari pekerjaan di sektor atau perusahaan lain," ujar Budi.

Oleh karena itu, menurut Budi, skema kemitraan seperti yang ada saat ini sudah lebih baik ketimbang menuntut status yang lebih terikat. Apalagi, ojol sebagai pekerja gig seharusnya memiliki waktu yang fleksibel dalam mengatur jam kerja.

"Saat ini, dari sisi legalitas, ojol itu sudah legal dan ada di Permenhub. Hanya saja, memang saat ini dalam Permenhub belum dijelaskan secara tegas hubungan antara pengemudi ojol dengan aplikator, apakah merupakan kemitraan atau hubungan kerja," katanya pula.

Budi memahami bahwa sebenarnya yang mendasari tuntutan pengemudi ojol dikarenakan faktor pendapatan mereka yang menurun.

"Masih ingat dulu banyak pekerja formal yang resign dan beralih menjadi ojol, karena pendapatannya besar dan waktu kerja yang fleksibel. Namun saat ini situasinya berbeda, sekarang dengan semakin bertambahnya jumlah ojol, maka potensi pendapatan ojol jadi lebih sedikit. Jadi menurut saya, ini wajar dan jika sekarang jumlah ojol dibatasi, mereka juga pasti akan demo," tuturnya.

Untuk itu, Budi menekankan kembali ada dampak yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan jika memang pengemudi ojol tetap ingin memformalitaskan statusnya tersebut.

"Jadi, menurut saya percuma jika hanya menuntut soal status kalau upahnya nanti sama rendah," katanya.

Sementara terkait tarif dan potongan dari aplikator, menurut Budi, sejatinya juga telah disepakati oleh seluruh pemangku kepentingan, begitu juga dengan batas bawah dan atasnya.

Dengan demikian, kata dia lagi, nantinya tinggal dievaluasi apakah pembagian tarif tersebut masih sesuai atau tidak.

"Apakah benar dugaan dari para pengemudi ojol bahwa penerapannya di lapangan melebihi dari ketentuan dan bagaimana penggunaan dana yang dikumpulkan dari para pengemudi ojol tersebut, apakah penggunaannya sudah tepat karena harus dikembalikan lagi kepada mitra ojol manfaatnya. Evaluasi ini yang kita tunggu dari pemerintah," kata dia pula.