JAKARTA - Civil Society Watch (CSW), begitu kelompok masyarakat itu disebut oleh Ade Armando. CSW berdiri untuk membantu menjaga kelompok-kelompok masyarakat agar tetap jadi kekuatan yang sehat dalam demokrasi, begitu Ade menjelaskan tujuan pendirian kelompok tersebut. Bagaimana logika ini? Siapa lebih butuh diawasi dalam kondisi demokrasi yang mencapai titik terendahnya hari ini? Masyarakat atau otoritas?
Kemunculan CSW diumumkan Ade Armando lewat unggahan di akun Twitternya, @adearmando1, Senin, 7 Juni. Unggahan itu mendapat kritik deras masyarakat luas. Terlihat dari kolom komentar, berbagai narasi kritis dan skeptis disuarakan. Mereka mempertanyakan otorisasi kelompok Ade untuk mengawasi masyarakat sipil. Lainnya memandang CSW akan jadi lembaga tukang lapor yang justru akan merugikan demokrasi.
"Ketika buzzeRrp menginstitusikan diri," tulis pegiat HAM, Veronica Koman.
"Di mana-mana NGO (CSO) dan media massa dibentuk guna menguatkan posisi dan melindungi hak masyarakat sipil dari monopoli kebijakan publik (negara) yang timpang & elitis dari penguasa. Di sini malah ada yang mendaku bagian CSO namun kerjanya mengawasi civil society, bukan penguasa," kicau Koordinator Public Interest Lawyer Network (Pilnet) Erwin Natosmal Oemar dengan emoji tertawa.
"Wah selamat mas @adearmando1 ini yg kita tunggu2 nih. Apakah Pemuda Pancasila dan FBR masuk dalam kelompok yg akan diawasi? Tolong konfirmasinya, ini utk akuntabilitas ke publik (emoji tertawa)," Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Erasmus Napitupulu.
"Masyarakat mengawasi masyarakat cuma ada pada rezim totaliter fasis dan komunis. Yang harus diawasi itu pemerintah karena dia punya kuasa yang potensial disalahgunakan oleh pemegang kuasa," tulis mantan Ketua Komisi Yudisial Aidul Fitriacida.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara turut berkicau, "Tugas utama (organisasi) masyarakat sipil adalah mengawasi (lembaga) negara, termasuk kami di @KomnasHAM supaya menjalankan mandatnya dengan benar. Bukan jadi pengawas yang lain."
Kami adalah Civil Society Watch. Kami berdiri untuk mrmbantu menjaga agar kelompok2 LSM, NGO, media massa, ormas tetap menjadi kekuatan yg sehat dalam Demokrasi. pic.twitter.com/Z3zsFp00D5
— ade armando (@adearmando1) June 5, 2021
Apa kata Ade Armando?
Dihubungi VOI, Senin, 7 Juni, Ade Armando membantah Civil Society Watch (CSW) akan jadi lembaga tukang lapor. Ia mengatakan CSW akan bekerja dengan menampung pengaduan tentang kerja LSM, media massa, dan ormas. Hasil pengaduan itu, kata Ade akan dipublikasikan.
"CSV berusaha membantu melalui dua cara. Di satu sisi, CSW mendukung langkah-langkah positif masyarakat sipil. Di sisi lain, CSW juga mengawasi gerak masyarakat sipil yang dapat dikategorikan dalam perilaku yang justru akan merugikan kepentingan rakyat Indonesia. Temuan-temuan tersebut akan kami publikasikan," kata Ade.
Kami bertanya soal maksud dari kategori yang merugikan kepentingan rakyat. Ade menjawab: LSM atau ormas yang memeras pihak-pihak tertentu. LSM yang menyebarkan kampanye hitam tanpa bukti empiris. Media yang menyebar ideologi radikal, dan sebagainya.
Terkait dengan kekhawatiran banyak orang bahwa CSW akan jadi kelompok 'tukang lapor' yang mengancam demokrasi lewat kriminalisasi kebebasan berpendapat, Ade mengatakan: Kami kan tidak mengancam kebebasan berpendapat. Kami tidak punya otoritas apa-apa. Kami beroperasi di tataran etika, bukan hukum.
Sebaiknya Ade Armando benar
Ade Armando sebaiknya benar. Demokrasi Indonesia sudah kelewat melorot, bahkan dinyatakan cacat dalam sebuah studi. Laporan yang dirilis Economist Intelligence Unit (EIU) mencatat indeks demokrasi Indonesia tahun 2020 berada di titik terendah dalam 14 tahun terakhir.
Indonesia menempati peringkat 64 dunia, dengan skor 6.3. Meski dari segi peringkat Indonesia masih berada di tempat yang sama, namun skor itu menurun dibanding tahun lalu: 6.48.
Dengan capaian itu Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan kondisi demokrasi yang cacat. Indeks Demokrasi adalah laporan yang rutin disusun dan dipublikasikan EUI sejak tahun 2006. Tujuannya adalah mengukur keadaan demokrasi di 167 negara di dunia.
Di Asia Tenggara, Indonesia menduduki urutan empat, di bawah Malaysia, Filipina, dan Timor Leste. Sementara, negara dunia dengan indeks demokrasi tertinggi adalah Norwegia yang meraih skor 9,81. Setelah Norwegia ada Islandia (9.37), Swedia (9.26), Selandia Baru (2.25), dan Kanada (9.24). Sementara, negara dengan skor terendah adalah Korea Utara.
Menurut laporan itu, secara global indeks demokrasi dunia memang menurun ketimbang tahun lalu. Rata-rata skor indeks demokrasi dunia tahun ini tercatat di angka 5.37, menurun dari sebelumnya: 5.44.
Angka ini juga tercatat sebagai rata-rata skor terendah sejak EIU merilis laporan tahunannya pada 2006 silam. Dari skor-skor yang diraih, EIU mengklasifikasikan negara-negara ke empat kategori rezim: demokrasi penuh, demokrasi cacat, rezim hibrida, dan rezim otoriter.
Ada lima indikator yang digunakan EIU untuk menentukan indeks demokrasi suatu negara. Beberapa indikator di antaranya adalah proses pemilu dan pluralisme, fungsi dan kinerja pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, serta kebebasan sipil.
Di Indonesia, EIU memberikan skor 7.92 unutk proses pemilu dan pluralisme. Sementara, fungsi dan kinerja pemerintah dinilai dengan skor 7.50. Adapun partisipasi politik 6.11, budaya politik 4.38, dan kebebasan sipil dengan skor 5.59. Hal unik lain dari laporan ini adalah pengaruh COVID-19 terhadap kebebasan dan demokrasi di dunia.
"Pandemi menegaskan banyak penguasa menjadi terbiasa mengecualikan publik dari diskusi tentang masalah-masalah mendesak saat ini, dan menunjukkan elite pemerintah, bukan partisipasi populer, telah menjadi norma," kata Joen Hoey, penulis laporan EIU, dikutip DW, Senin, 7 Juni.
*Baca Informasi lain soal KPK atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.