Bagikan:

JAKARTA - Berbagai bantuan mengalir untuk masyarakat terdampak pandemi COVID-19. Tetapi, bantuan yang diberikan tak selalu mendapat respons positif dari masyarakat.

Salah satunya terjadi di Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Masyarakat marah ketika mendapat bantuan berupa nasi bungkus yang terdapat tulisan yang dianggap melecehkan.

Pada nasi bungkus itu, tertulis kalimat yang bernarasi 'nasi anjing, nasi orang kecil, bersahabat dengan nasi kucing'. #Jakartatahanbanting. Kata 'Nasi Anjing' dimaknai beragam, termasuk menganggap makanan itu merupakan olahan daging anjing.

Kasus ini disoroti polisi. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus mengatakan, polisi sudah menyelidiki insiden peristiwa ini. Beberapa saksi seperti tokoh masyarakat dan kelompok yang membagikan bantuan tersebut, sudah dimintai keterangan.

"Dari Polres Metro Jakarta Utara meminta keterangan RT/RW dan perwakilan warga untuk mendengarkan klarifikasi dari pemberi makanan dari komunitas ARK QAHAL berpusat di Jakarta Barat," ucap Yusri di Jakarta, Senin, 27 April.

Daging dan beberapa jenis lauk yang ada pada nasi itu juga sudah diperiksa laboratorium. Semua bahan yang digunakan pada satu paket nasi bungkus itu pun hanya berisi makaman halal seperti cumi, sosis sapi, teri, dan lain-lain. 

Soal penggunaan simbol anjing, sang pemberi makanan ini mengatakan tak memiliki maksud menghina atau yang lainnya. Kata 'anjing' ditujukan karena hewan ini setia. Selain itu, nasi anjing dimaksudkan karena porsinya lebih besar dari nasi kucing sehingga bisa dikonsumsi untuk orang kecil bertahan hidup.

"Tidak ada unsur menghina atau sebagainya. Ini semua karena ada salah persepsi antara pembuat, pemberi dan penerima," kata Yusri.

Pemberi nasi anjing ini juga sudah melakukan mediasi terhadap sejumlah warga Warakas. Salah satu pihak pemberi nasi anjing ini meminta maaf yang ditulis dalam surat kesepakatan bermaterai. Setelah ini, kedua belah pihak menganggap masalah ini selesai.

Komisi III DPR RI Arteria Dahlan menganggap, polemik nasi anjing ini muncul karena kesalahpahaman antara dua pihak. Baginya, masalah ini tak perlu dibesar-besarkan.

"Sangat tidak sensitif, apalagi dalam konteks pemberian bantuan, apalagi bantuannya dalam bentuk makanan yang untuk dikonsumsi masyarakat," kata Arteria dalam keterangan tertulisnya

Kata Arteria, kesalahpahaman ini muncul karena persepsi kata 'anjing' di masyarakat merupakan hal yang buruk. Bahkan, dalam agama Islam, anjing merupakan binatang yang diharamkan untuk dimakan. Ini pula yang menganggap penerima nasi bungkus itu merasa dihina.

"Konteksnya tidak lagi pada konten apakah pembuatan nasi dilakukan dengan bahan halal apa tidak. Tapi lebih pada ketidakpatutan pemberian label pada bantuan makanan yang hendak diberikan dan dimakan oleh masyarakat," ungkap Arteria.

Sementara, Sosiolog Universitas Indonesia Bayu A. Yulianto. mengatakan, kelompok pemberi bantuan 'nasi anjing' sudah menyadari risiko penggunaan label tersebut. Tapi, mereka tetap melakukannya hanya untuk mendapat perhatian dari masyarakat.

"Mereka sudah menyadari bahwa yang mereka lakukan pasti akan memunculkan kegaduhan. Dengan kegaduhan ini mereka jadi lebih mendapat perhatian sebagai komunitas yang peduli dengan kemanusiaan," kata Bayu.

Bayu menilai, pemberi nasi bungkus ini sengaja mencari sensasi dengan penggunaan simbol anjing itu, dengan harapan mendapat popularitas dengan cepat dari masyarakat.

"Jadi dugaan saya, mereka sebenarnya sedang cari sensasi dengan penggunaan nama nasi anjing tersebut," tandas Bayu.