JAKARTA - Pandemi COVID-19 yang sudah semakin menyebar di Indonesia memaksa pemerintah membatalkan Ujian Nasional (UN). Sebenarnya, andai tak ada pandemi pun, mayoritas orang sepakat apabila UN lebih baik dihapuskan. Sejak lama UN jadi momok menyebalkan bagi para pesertanya. Banyak alasan yang mendasari.
Selain hanya menjadi sarana praktik curang, UN juga bisa dibilang tak ada gunanya lagi. Toh, seleksi masuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi tak lagi didasari nilai UN, melainkan sistem zonasi. Apalagi, bagi yang mau masuk perguruan tinggi. Kampus mana pula yang menjadikan hasil UN sebagai patokan seleksi masuk?
Meski begitu, jelas harus ada sistem asesmen pendidikan baru yang harus segera disempurnakan jika benar-benar ingin meniadakan UN, termasuk skema Ujian Sekolah Berstandar Nasional sebagai pengganti UN yang belakangan digaungkan. Tapi, jika mendalami seberapa jadi momok UN bagi siswa --khususnya tingkat SMA yang segera lanjut ke perguruan tinggi, sejatinya UN tak ada apa-apanya jika dibanding ujian Suneung di Korea Selatan.
Perbandingan pertama, UN di Indonesia tak dijadikan standar seleksi masuk perguruan tinggi. Selain itu, untuk masuk ke perguruan tinggi terdapat banyak jalur tes masuk. Mulai dari tes ujian tertulis bersama, tes menggunakan rata-rata nilai rapot, hingga tes mandiri. Beda cerita dengan siswa di Negeri Ginseng, di mana ujian Suneung bisa dibilang sebagai pintu gerbang kehidupan selanjutnya.
BACA JUGA:
Ujian final skala nasional Korea Selatan, yang disebut Suneung atau College Scholastic Ability Test (SCAT) ini mungkin bisa dibilang seperti penentuan hidup dan mati masa depan pemuda Korea Selatan. Pasalnya, ujian marathon delapan jam ini bukan hanya menentukan apakah siswa dapat masuk ke universitas, namun juga dapat mempengaruhi prospek pekerjaan, penghasilan, di mana mereka akan tinggal dan bahkan mempengaruhi urusan relationship di masa depan.
"Bagi kami, Suneung adalah pintu gerbang yang sangat penting ke masa depan. Di Korea, masuk ke universitas sangat penting. Itulah sebabnya kami menghabiskan 12 tahun untuk mempersiapkan satu hari ini," kata Ko Eun-suh siswa yang pertama kali mengikuti ujian Suneung dikutip dari BBC.
Setiap tahun di bulan November, Suneung membuat seluruh aktivitas negeri terhenti. Ketika ujian ini digelar, keheningan dapat dirasakan di seluruh Ibu Kota, Seoul. Seketika, toko-toko tutup, bank tutup. Bahkan, pasar saham dibuka pada larut malam. Selain itu, sebagian besar pekerjaan konstruksi juga ikut terhenti, pesawat di-grounded, dan pelatihan militer dihentikan.
Kadang-kadang keheningan kota pecah oleh suara sirine dari sepeda motor polisi yang berlomba untuk mengantarkan siswa terlambat ke ujian mereka. Jika di Indonesia ketika hendak UN biasanya para siswa menggelar istigosah bersama, hal serupa juga terjadi di Korsel. Di sana, banyak orang tua yang gelisah sehingga menghabiskan satu hari di kuil Budha atau gereja Kristen setempat, sambil memegang foto anak-anak mereka dan berdoa agar anak mereka lulus dari ujian penentuan itu.
BACA JUGA:
Maka, wajar apabila Suneung menjadi momok. Selain soalnya yang dianggap sangat sulit, pembuatan soal ujiannya pun diselimuti misteri. Setiap September, sekitar 500 guru dari seluruh Korea selatan dipilih dan dibawa ke lokasi rahasia di salah satu provinsi di pegunungan Gangwon. Selama satu bulan, para guru dikarantina, telepon mereka disita dan semua kontak dengan orang luar dilarang.
Setelah ujian selesai, secara resmi skornya akan diumumkan lewat situs nasional satu bulan kemudian. Namun, situs tak resmi yang membocorkan nilai hasil ujian mereka biasanya muncul lebih cepat, sehingga para siswa bisa dengan segera membandingkan skor total mereka dengan skor minimum yang diperlukan untuk masuk ke universitas pilihan mereka.
Tingkat stres tinggi
Persaingan yang ketat, persiapan pembelajaran dan mental yang panjang sebelum ujian, sampai kepada biaya banyak yang harus dikeluarkan untuk biaya les, tak ayal menimbulkan stres bagi siswa. Oleh karena itu, kritik terhadap Suneung tentang dampak mental siswa ramai disuarakan.
Masih mengutip BBC, seorang psikolog yang bekerja di Seoul Kim Tae-hyung mengatakan, anak-anak Korsel dipaksa untuk belajar keras dan bersaing dengan rekan sejawat mereka. "Mereka tumbuh sendirian, hanya belajar sendiri. Keterasingan semacam ini dapat menyebabkan depresi dan menjadi faktor utama dalam bunuh diri," kata Kim.
Secara global, bunuh diri adalah penyebab kematian nomor dua pada kaum muda. Namun, di Korsel, bunuh diri adalah penyebab kematian nomor satu bagi kaum muda berusia antara 10-30 tahun. Negara ini juga memiliki tingkat stres tertinggi di antara kaum muda usia 11-15 tahun dibandingkan dengan negara industri lain di dunia menurut Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
Kim mengatakan, tekanan pada masyarakat Korsel untuk masuk ke universitas terbaik dan mendapatkan pekerjaan baik sudah bahkan sudah dimulai sejak dini. "Anak-anak merasa gugup sejak usia muda. Bahkan siswa sekolah dasar tahun pertama sudah berbcicara tentang pekerjaan mana yang paling besar gajinya," kata Kim.
BACA JUGA:
Sementara itu, dosen sosiologi dari Universitas Yonsei, Lee Do-hoon mengkritisi obsesi bangsanya atas prestasi pendidikan. Padahal, di lain sisi, masalah pengangguran meningkat. Ironisnya, dua perkara itu jadi alasan utama kenapa banyak anak muda di Korsel berjuang begitu keras, sampai tak sedikit yang berujung stres hingga bunuh diri.
"Saya pikir tingkat bunuh diri yang tinggi didorong juga oleh kesenjangan yang semakin meningkat antara kurangnya kesempatan kerja, dan ekspektasi keberhasilan siswa itu sendiri," kata Lee.
Meskipun demikian, banyak ahli yang bilang bahwa tekanan pendidikan bukan satu-satunya penyebab tingkat bunuh diri tinggi. Pesatnya pertumbuhan kota, serta penurunan tingkat kekeluargaan yang erat, menjadi salah dua faktor yang dikaitkan dengan peningkatan perasaan isolasi, depresi dan bunuh diri.