Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengurangi jumlah armada dan waktu operasi tiga transportasi umum: MRT, LRT, dan TransJakarta. Tujuannya adalah mengurangi potensi interaksi antarwarga. Dengan begitu, penyebaran COVID-19 akan ditekan. Namun, tak semudah rencana. Kebijakan ini justru jadi masalah.

Elias (28) berdiri sekitar 15 menit di tengah Jalan Puri Beta Selatan Raya, Tangerang. Di depannya, puluhan orang lain mengular menunggu giliran masuk --dalam antrean sekitar seratus meter-- ke Halte TransJakarta Puri Beta. Tak tahan, Elias akhirnya memutuskan keluar dari antrean.

Kepada VOI, Elias menjelaskan, ia bukan hanya tak rela menunggu. Tapi, kerumunan orang yang begitu banyak membuatnya khawatir akan potensi penularan COVID-19 yang lebih tinggi. Elias akhirnya memutuskan naik ojek online untuk sampai ke kantornya di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.

"Di dalam (bus) pasti lebih parah (kerumunan). Enggak, deh," tutur Elias lewat pesan singkat, Senin, 16 Maret.

Kekhawatiran Elias beralasan, apalagi jika melihat kembali liputan kami pada Kamis lalu, 12 Maret. Dalam liputan itu, kami menemukan bagaimana perilaku banyak pengguna TransJakarta yang masih sembarangan: kedisiplinan menggunakan hand sanitizer atau penerapan etika batuk dan bersin.

Situasi di dalam bus TransJakarta (Detha Arya Tifada/VOI)

Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah mengkritisi kebijakan Pemprov DKI. Terjadinya penumpukan penumpang, menurutnya terjadi karena keputusan memangkas rute-rute transportasi umum yang terburu-buru. Pemprov DKI jelas tak mengukur kesiapan dunia kerja --perusahaan dan pekerja-- untuk memutuskan langkah ini.

Kritik Trubus berkaitan dengan sosialisasi yang tak terbumikan secara optimal. Menurut Trubus, Pemprov DKI seharusnya terlebih dulu melakukan sosialisasi selama beberapa hari sebelum menerapkan langkah ini. Soal seruan work from home (WFH), misalnya.

Kebijakan ini menurut Trubus tak mungkin dilakukan dalam waktu yang mepet. Bukan apa-apa, mayoritas warga Jakarta bekerja di bidang jasa. Karenanya, naif jika Pemprov DKI berpikir dapat memaksa dunia kerja untuk menerapkan kebijakan WFH dengan waktu yang sempit.

"Memang terkesan kurang siap, karena warga Jakarta itu usaha di bidang jasa. Jadi, simpelnya kan kalau tidak bekerja mereka tidak dapat uang," ucap Trubus kepada VOI, Senin, 16 Maret.

Minim koordinasi

Lebih lanjut, Trubus menuturkan pentingnya sosialisasi dan koordinasi dengan dunia kerja. Hal ini penting. Pun jika memang keputusan WFH adalah solusi terbaik. Dengan koordinasi dan sosialisasi, dunia kerja akan memiliki waktu menyusun strategi bagaimana menjalankan kerja-kerja dengan skema tertentu.

"Seharunya ada koordinasi dengan asosiasi atau peruasahaan swasta. Nanti membahas soal kemungkinan libur kerja dan sebagainya," kata Trubus.

Munculnya penumpukan penumpang di sejumlah titik transportasi umum adalah bukti kurangnya koordinasi Pemprov DKI. Tak hanya potensi penularan yang makin besar. Menurut Trubus, penumpukan penumpang akan menyebabkan sejumlah masalah seperti munculnya free ride, yakni oknum yang memanfaatkan situasi kacau untuk keuntungan.

"Bisa terjadi permasalahan baru. Emosi masyarkat pasti terpancing karena sudah menunggu lama. Karena itulah, koordinasi menjadi penting dalam hal ini," kata Trubus.

Kebijakan pemangkasan rute transportasi umum ini sebelumnya diumumkan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Transportasi umum, seperti, MRT, LRT, dan TransJakarta akan dikurangi waktu operasinya seminim mungkin. Nantinya, fasilitas trasportasi itu hanya akan melayani masyarakat mulai dari pukul 06.00 hingga 18.00 WIB. Padahal, sebelumnya transportasi publik beroperasi sejak pukul pukul 05.00 hingga 24.00 WIB.

"Kita ingin menyampaikan bahwa layanan kendaraan umum di Jakarta akan mengalami perubahan, kita akan menurunkan secara ekstrem kapasitas pelayanan," ucap Anies di Jakarta, Minggu, 15 Maret.