JAKARTA - Cara penyampaian sangat memengaruhi hasil dari kritik. Bila cara penyampaiannya salah, walaupun tujuannya baik, tentu akan diterima kurang baik bagi objek kritik. Namun, sering kali pengkritik tidak menyadari cara penyampaian kritiknya karena cara berkomunikasi sering kali sudah menjadi suatu pola kebiasaan yang tidak disadari.
Ucapan Listiani Aslim dalam buku ‘Saya Benci Kritik’ tersebut kiranya bisa untuk menggambarkan kesalahpahaman yang terjadi antara guru SMK di Cirebon, Muhammad Sabil dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Dulu, ada garis batas yang jelas antara atasan dengan bawahan, senior dengan junior, dan orangtua dengan yang lebih muda. Setiap orang yang lebih muda, lebih junior, dan merasa posisinya lebih rendah, otomatis akan bersikap dan berkomunikasi dengan lebih sopan serta lebih hormat.
“Susunan kata-kata, intonasi, dan sikap tubuh mereka ditunjukkan dengan lebih santun setiap kali berkomunikasi dengan atasan, orangtua, dan senior,” kata Listiani.
Dewasa ini, garis perbedaan itu semakin tipis. Sopan santun secara timur tidak lagi menempati posisi sepenting dahulu. Hanya sebagian orang yang masih memegangnya.
Komunikasi pada akhirnya berubah, dari yang langsung menjadi melalui alat teknologi. Intonasi, gerak-gerik, atau tingkah laku tidak lagi dilatih dalam setiap penyampaian ide, pesan, atau pendapat. Pilihan kata-kata tidak lagi melalui hasil pemikiran yang matang atau dengan mempertimbangkan perasaan orang lain, tetapi dengan mencondongkan diri kepada hal yang dianggap kekinian.
Hal pertama yang sering tidak disadari oleh banyak orang dalam menyampaikan pendapat atau kritik, menurut Listiani, ternyata ada pada diri pengkritik. Kebanyakan orang hanya memiliki gambaran umum tentang hal yang harus disampaikan. Jarang ada yang menyiapkan diri untuk mendapatkan kejelasan tentang hal yang harus disampaikannya.
Sabil mengomentari posisi Emil dengan mengenakan jas kuning melakukan zoom dengan para siswa SMP di Tasikmalaya yang sudah rela urunan membelikan sepatu untuk salah satu temannya.
Sabil menganggap sebagai gubernur, Ridwan Kamil tidak boleh melakukan politik praktis ke lingkungan sekolah meski secara virtual. Kalau memang ingin berdialog dengan para murid sekolah, jangan pakai atribut partai politik.
"Dalam zoom ini, Maneh (kamu) teh keur jadi gubernur jabar ato kader partai ato pribadi @ridwankamil???” komentar Sabil di akun instagram Ridwan Kamil pada 14 Maret 2023.
Di posisi ini, Sabil hanya melihat gambaran umum dari penampilan Ridwan Kamil. Sabil tidak melihat hal yang lebih dalam, semisal apakah jas yang dikenakannya merupakan jas partai. Sebab, meski berwarna kuning, jas yang digunakan Ridwan Kamil saat zoom berwarna kuning polos tanpa ada bordiran lambang partai di dada kiri.
Hal kedua yang sering tidak diantisipasi adalah mengenai kosakata. Kata ‘maneh’ dalam undak usuk bahasa Sunda biasanya digunakan untuk teman sebaya, menjadi ucapan kasar bila digunakan untuk orang yang lebih tua, apalagi gubernur.
Menurut Sabil, penggunaan kata maneh bukan maksud berlaku tidak sopan, melainkan hanya agar terkesan lebih akrab.
Namun, bagi Ridwan Kamil, kata yang digunakan Sabil tidak tepat. Terlebih, Sabil adalah seorang guru.
“Makanya saya nge-pin, itu (tujuannya) saya sedang mengedukasi kepada orang-orang yang kadang komennya enggak pakai fakta. Saya klarifikasi, sebenarnya itu," kata Ridwan Kamil.
Cukup Dinasihati
Sabil tidak menyangka komentar tersebut membuatnya dipecat oleh pihak sekolah. Ridwan Kamil pun demikian, dia mengaku terkejut pihak sekolah sampai membuat keputusan untuk memberhentikan Sabil.
“Mungkin karena yang melakukan posting kasar adalah seorang guru, yang postingannya mungkin dilihat/ditiru oleh murid-muridnya, maka pihak sekolah/yayasan untuk menjaga nama baik insitusi memberikan tindakan tegas sesuai peraturan sekolah yang bersangkutan,” kata Ridwan Kamil di akun instagramnya pada 15 Maret 2023.
Namun, dia mengaku telah menghubungi pihak sekolah agar yang bersangkutan bisa kembali lagi mengajar.
“Cukup dinasihati dan diingatkan saja, tidak perlu sampai diberhentikan,” ucapnya.
Pada era medsos tanpa sensor sekarang ini, tambah Ridwan Kamil, sudah menjadi kewajiban para orangtua, guru dan pemimpin untuk terus saling nasihat-menasihati dalam kabaikan, sabar, dan selalu bijak dalam bermedsos, “Agar anak cucu kita bisa hidup dalam peradaban yang lebih mulia.”
Bagian Demokrasi
Dosen Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, Hendry Julian Noor mengakui media sosial membuat setiap orang dapat dengan mudah mengemukakan pendapatnya, termasuk terhadap kebijakan dan tindakan para pejabat publik.
Kritik dalam bentuk apa pun, lisan, tulisan, dan/atau gambar, merupakan hal yang lazim dan pencerminan kehidupan yang demokratis. Kendati demikian, sebagai bangsa yang menganut nilai ketimuran, kesopanan dan kesusilaan sebagai nilai yang hidup dalam masyarakat adalah sesuatu yang seharusnya tetap ada di dalamnya
Presiden Jokowi telah memberi contoh ketika menanggapi kritik BEM Universitas Indonesia yang menyebutnya sebagai The King of Lip Service pada 2021. Alih-alih marah, Jokowi justru meminta pihak kampus Universitas Indonesia tidak perlu menghalang-halangi aksi para mahasiswanya.
BACA JUGA:
“Dari sini dapat dikatakan bahwa Presiden sangat memahami bahwa prinsip dalam konsep negara yang beradab, kritik terhadap pengelolaan negara adalah salah satu hal yang elementer sebagai bagian dari checks and balances,” dalam opininya di Kompas.
Dalam konsep negara hukum, jangankan kritik, bahkan gugatan terhadap pemerintah diberikan wadah oleh hukum.
Menko Polhukam Mahfud MD pun menilai kritik menjadi hal penting untuk para pejabat, “Tujuannya agar pejabat selalu sadar bahwa kinerjanya diawasi oleh orang banyak.”