JAKARTA – Perilaku flexing atau memamerkan hal yang dimiliki telah menjadi gaya hidup masyarakat saat ini. Tidak hanya artis dan influencer, melainkan juga menyasar ke para pejabat dan keluarganya. Tengok perilaku mantan Kepala Bea Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto yang gemar flexing kendaraan-kendaraan mewah.
Dalam akun Instagram pribadi miliknya @eko_darmanto_bc yang kini dinonaktifkan, sempat beredar hasil tangkapan layar yang memperlihatkan unggahan kendaraan-kendaraan mewah.
Lihat pula perilaku anak pejabat Dirjen Pajak yang sempat viral beberapa waktu lalu juga suka flexing mobil Rubicon dan motor gede. Serta, perilaku sejumlah istri pejabat yang gemar mengunggah barang-barang branded.
Psikolog dari Universitas Indonesia Dr. Rose Mini Agoes Salim menilai, ada kalanya, flexing hanya untuk pengakuan atau legitimasi diri. Ini lazimnya terjadi ketika seseorang tidak memiliki kemampuan memahami diri.
Dia tidak mengerti apa yang dominan di dalam dirinya, apa yang sebenarnya menjadi keunggulannya. Sehingga, terkadang mereka memang sengaja menempelkan beragam hal dari sisi luar demi memperlihatkan kemampuannya,” kata Rose kepada VOI pada 2 Maret 2023.
Remaja contohnya. Mereka tentu mencari konsep demi menemukan identitas diri. Bila dari sisi performance tidak ada yang menonjol, tidak ada prestasi, tidak berorganisasi, maka dia akan mencari identitas diri dari hal lain.
“Kadang-kadang identitasnya diambil dari hal-hal sepele, misalnya apa yang dia pakai, atau harta yang dimiliki orangtuanya. Tanpa itu, dia merasa tidak punya makna, tidak dapat pengakuan. Sehingga, memang orang harus punya prestasi, harus punya sesuatu yang diunggulkan enggak sekadar menempelkan diri kepada harta,” ucapnya.
Namun, ada kalanya pula flexing menjadi hal wajib. Terutama untuk artis, content creator, marketing, dan influencer.
“Untuk seorang multilevel marketing misalnya, dia memang harus flexing buat jualan. Lalu influencer, dia flexing untuk endorse. Para artis seperti Raffi Ahmad atau Atta Halilintar, mereka juga perlu flexing untuk meningkatkan nilai jual dirinya sebagai entertainer atau hanya untuk konten YouTube,” tutur CEO Top Coach Indonesia, Tom Mc Ifle kepada VOI pada 2 Maret 2023.
Dampak untuk Generasi Z
Flexing, menurut Tom, pada dasarnya adalah salah satu kebutuhan dasar manusia, yakni ingin terlihat signifikan. Dalam arti berbeda atau memiliki keunikan.
“Mencantumkan banyak gelar pada penulisan nama juga bisa disebut flexing. Semakin banyak gelar, orang akan merasa semakin keren dan percaya diri. Begitu pula memamerkan prestasi anak, istri cantik, ini juga bisa disebut bentuk flexing,” kata Tom.
Namun, Tom mengakui memang sudah terjadi pergeseran. Tak lagi menyoal gelar, banyak orang saat ini lebih memilih flexing harta kekayaan atau barang yang dia miliki.
“Kalau benar punya tidak jadi masalah, banyak juga yang sampai berhutang, barang pinjaman, atau mungkin flexing harta dari hasil yang tidak halal, ini yang menjadi masalah.”
Dampaknya sangat berbahaya. Lihat para Sappeurs, anggota komunitas La Sape di Kongo. Mereka rela menabung bertahun-tahun hanya untuk membeli jas rancangan desainer ternama. Bahkan, ada yang sengaja meminjam uang atau sengaja mengirit pola makannya hanya untuk dapat tampil trendi.
“Tujuannya hanya flexing. Setiap akhir pekan, mereka berkeliling kota Brazzaville mengenakan kostum-kostum mewah. Kalau kehidupan mereka berkecukupan ya wajar, ironisnya mereka hidup miskin,” kata Tom.
Di Indonesia, dampak tersebut sudah terlihat jelas sekiranya pada 2006. Banyak masyarakat, terutama anak-anak Generasi Z (kelahiran tahun 1995-2010) sudah tidak lagi tertarik dengan kisah-kisah kesulitan hidup. Mereka lebih melihat inspirasi dari orang-orang yang sudah mapan dalam usia muda.
“YouTuber anak kecil sudah punya penghasilan miliaran, Atta Halilintar keluarga Gen Halilintar dengan adanya sosial media menciptakan sesuatu yang terkesan instan. Lalu flexing yang dilakukan oleh Kardashian Family, hampir semua orang ingin seperti mereka,” kata Tom.
Dampaknya, Generasi Z cenderung tidak lagi mempedulikan proses, mereka lebih mengutamakan hasil. Bila tercapai dengan cara yang benar, tentu itu baik. Bila tidak, muncul kecenderungan seseorang menjaga harga dirinya dengan beragam hal, bukan tidak mungkin pula dengan cara-cara negatif seperti mencuri atau korupsi.
“Tapi akhir-akhir ini, sudah agak membaik. Sudah banyak media, influencer, artis yang mengedukasi. Semoga ini bisa menjadi pencerahan, sebenarnya apa makna sesungguhnya dari flexing harta kekayaan. Apakah hanya untuk dihargai, gaya hidup, gengsi, atau pengakuan,” kata Tom.
Toh, orang yang sudah memiliki harga diri tinggi seperti para miliarder atau konglomerat tidak suka flexing harta kekayaan. Mereka pun tidak terlalu kagum dengan barang-barang mewah, tetapi lebih kagum bila melihat orang-orang yang berprestasi.
“Jadi, bisa diartikan flexing harta kekayaan di media sosial hanya untuk harga diri atau pengakuan sebenarnya itu hanya pelarian karena mereka tidak memiliki potensi lain yang bisa ditonjolkan,” imbuh Tom MC Ifle.