Melihat Beda Panja dan Pansus serta Mana Lebih Tepat Atasi Jiwasraya
Kompleks DPR RI (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Kasus gagal bayar polis PT Asuransi Jiwasraya tidak hanya menyita perhatian publik, dan penegak hukum karena menyebabkan kerugian yang tak sedikit. Namun, juga menjadi perhatian DPR. Sebab, anggota DPR memang mempunyai hak untuk ikut andil dalam mencari tahu penyebab suatu isu yang menjadi perhatian publik dari kebijakan eksekutif.

Saat ini, DPR telah membentuk panitia kerja (Panja) untuk mengusut kasus gagal bayar polis perusahaan pelat merah tersebut. Pembentukan Panja dilakukan di tiga komisi yakni Komisi III membidangi hukum, Komisi VI membidangi BUMN dan Komisi XI membidangi keuangan.

Namun, dari sembilan fraksi di DPR, dua di antaranya yakni Demokrat dan PKS masih ngotot ingin membentuk Pansus. Mari memahami apa perbedaan Panja dan Pansus. Lalu, mana yang lebih efektif?

Panja

Di dalam Tata Tertib (Tatib) DPR RI No 1 Tahun 2014 bagian kesebelas panitia kerja (Panja), pasal 98 berbunyi: Alat kelengkapan DPR selain pimpinan DPR dapat membentuk panitia kerja.

Kemudian, di pasal 100 ayat 1 dijelaskan, "Panitia kerja bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya."

Sementara itu, untuk ruang lingkup kerja panja dijelaskan dalam pasal 100 ayat 2. "Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), panitia kerja dapat mengadakan rapat dengar pendapat dan rapat dengar pendapat umum."

Pada pasal 100 ayat 3 disebutkan: Tata cara kerja panitia kerja ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya.

Dalam pasal 100 ayat 4 dijelaskan, panja bertanggung jawab kepada alat kelengkapan DPR yang membentuknya. Kemudian, pasal 100 ayat 5 berbunyi: Panitia kerja dibubarkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya dinyatakan selesai.

Sementara itu, hasil kinerja panja apakah cukup atau perlu ditingkatkan tergantung dari AKD yang membentuknya, seperti bunyi pasal 100 ayat 6: Tindak lanjut hasil kerja panitia kerja ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya.

Untuk komposisi keanggotaan sesuai bunyi pasal 99 Tatib DPR yakni: Ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya dengan sedapat mungkin didasarkan pada perimbangan jumlah Anggota tiap-tiap Fraksi.

Artinya, panja adalah sebuah tim yang dibentuk oleh komisi di DPR terkait (AKD) untuk mengusut sebuah kasus yang menjadi sorotan publik. Dan hanya bertanggungjawab pada komisi yang membentuknya.

Pansus

Panitia khusus (Pansus) dijelaskan dalam pasal 93 Tatib DPR yakni: Panitia khusus dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat sementara.

Tata cara pelaksanaan tugas pansus diatur dalam pasal 96 ayat 1 yakni: Panitia khusus bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh rapat paripurna DPR.

Ruang lingkup pansus juga dijelaskan dalam Tatib DPR pada pasal 97. Di sebutkan bahwa ruang lingkup pansus lebih luas yakni dapat melakukan rapat kerja, rapat panitia kerja, rapat tim perumus/tim kecil dan atau rapat tim sinkronisasi.

Tak hanya itu, apabila dirasa perlu untuk membuat sebuah kasus terang benderang, selama disepakati pansus dapat membuat mekanime lain. Ketentuan ini diatur dalam pasal 97 ayat 2, berbunyi: Dalam melaksanakan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan mekanisme lain sepanjang disepakati oleh pimpinan dan anggota rapat.

Sementara untuk jumlah anggota pansus telah diatur dalam pasal 94 ayat 2 yang berbunyi: Jumlah anggota panitia khusus ditetapkan oleh rapat paripurna DPR paling banyak 30 (tiga puluh) orang.

Terkait masa waktu bekerja diatur dalam Pasal 96 Ayat 3. "Panitia khusus dibubarkan oleh DPR setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya dinyatakan selesai,"

Artinya, pansus dapat dibubarkan oleh keputusan kolektif DPR melalui rapat paripurna. Jika panja bertanggung jawab pada AKD yang membentuknya, pansus justru bertanggung jawab kepada seluruh anggota DPR.

Berbada dengan panja, pembentukan pansus akan diikuti dengan pelaksanaan hak anggota DPR yakni implementasi, angket dan menyatakan pendapat. Ketentuan ini juga tertuang di dalam pasal 164 Tatib DPR Bab IX tentang tata cara pelaksanaan hak DPR:

(1) DPR mempunyai hak:

a. interpelasi;

b. angket; dan

c. menyatakan pendapat.

(2) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

(4) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:

a. kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional;

b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau

c. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum, baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Seperti diketahui bersama, dua fraksi yang ngotot ingin kasus Jiwasraya diselidiki dengan pansus yakni Demokrat dan PKS akhirnya mengusulkan pembentukan pansus angket kepada pimpinan DPR. Usulan ini diterima oleh Wakil Ketua DPR Azis Syamsudin. Sebanyak 104 anggota dari kedua fraksi tersebut telah menandatangani usul pembentukan pansus angket Jiwasraya.

Tata cara pengunaan hak angket diatur dalam pasal 169 Tatib DPR:

(1) Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat (1) huruf b diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang Anggota dan lebih dari 1 (satu) Fraksi.

(2) Pengusulan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen yang memuat paling sedikit:

a. materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki; dan

b. alasan penyelidikan.

(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah Anggota dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah Anggota yang hadir.

Tidak seperti panja, pansus memiliki kekuatan hukum. Sebab pansus dapat memanggil pihak terkait secara paksa. Hal itu diatur dalam Pasal 175 Tatib DPR:

(1) Panitia khusus meminta kehadiran pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat meminta secara tertulis dalam jangka waktu yang cukup dengan menyebutkan maksud permintaan tersebut dan jadwal pelaksanaannya.

(2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib hadir untuk memberikan keterangan, termasuk menunjukkan dan/atau menyerahkan segala dokumen yang diperlukan kepada panitia khusus.

(3) Panitia khusus dapat menunda pelaksanaan rapat akibat ketidakhadiran pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena suatu alasan yang sah.

(4) Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak hadir tanpa alasan yang sah, atau menolak hadir, panitia khusus dapat meminta satu kali lagi kehadiran yang bersangkutan pada jadwal yang ditentukan.

(5) Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi permintaan kehadiran yang kedua tanpa alasan yang sah atau menolak hadir, yang bersangkutan dikenai panggilan paksa oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia atas permintaan panitia khusus.

(6) Dalam hal panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 15 (lima belas) Hari oleh aparat yang berwajib sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Mana lebih tepat?

Peneliti Forum Masyarakat Perduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus mengatakan, jika DPR serius dengan kasus yang menimpa Jiwasraya dan ingin mengusut masalah hingga tuntas pilihannya adalah pembentukan pansus angket Jiwasraya.

"Pilihannya mesti pansus. Karena dengan pansus kerja-kerja akan lebih efektif. Panja tiga komisi itu dapat digabungkan menjadi satu pansus. Mereka saling melengkapi dalam upaya mencari tahu apa masalah sesungguhnya di tubuh Jiwasraya," ucap Lucius, saat dihubungi VOI, di Jakarta, Rabu, 5 Februari.

Lucius mengatakan, dengan membentuk pansus ruang lingkupnya akan lebih luas ketimbang panja yang hanya satu bidang. Apalagi, rekomendasi hasil pansus disampaikan langsung ke rapat paripurna.

Jiwasraya (Istimewa)

"Yang paling penting kan ke pebulik (disampikan) kerja DPR itu. Bahwa selama ini pansus kerjanya cuma begitu-begitu aja itu urusan belakangan. Tapi yang paling penting bagaimana respons DPR sebagi lembaga untuk menunjukkan kepedulian mereka pada isu-isu yang menjadi perhatian publik," tuturnya.

Alih-alih membentuk panja dengan tiga bidang berbada yakni komisi III (hukum), komisi VI (BUMN) dan komisi IX (keuangan), koordinasi akan lebih baik jika ketiga panja ini menjadi satu pansus angket. Lucius menilai, pansus dapat mengakomodir ketiga bidang tersebut dan jauh lebih efektif.

"Kalau yang sekarang kan komisi III mau tahu bagaimana soal keuangan di Jiwasraya dia harus tanya ke komisi XI. Komisi XI kalau mau tahu dasar hukumnya dia tanya ke komisi III. Kan lucu banget kerja kaya gitu. Jadi lebih efektif pansus," ucapnya.