Bagaimana Seharusnya Menyikapi Kasus Gagal Bayar Jiwasraya
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Penyelesaian kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya dinilai harus difokuskan pada perlindungan nasabah. President Director Center for Banking Crisis, Achmad Deni Daruri menyatakan, pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian masalah tersebut, harus fokus pada pengembalian dana nasabah.

"Kami berharap semua pihak DPR, BPK, Kejaksaan, Ombudsman, menggunakan kewenangannya untuk perlindungan nasabah yaitu mengembalikan uang nasabah secara terukur, obyektif, kredibel dan akurat dengan pendekatan bisnis. Karena nasabah lah yang dirugikan, bukan negara," ujar Deni dalam keterangannya kepada VOI, Senin 3 Februari.

Menurut Deni, sangat ironis jika ada pihak yang mempunyai kewenangan tapi berakrobat politik atau hukum hanya untuk menunjukan superioritas lembaganya tanpa memedulikan nasabah pemegang polis yang menunggu kepastian dibayarkan.

Ia menjelaskan, sistem keuangan non bank masih jauh dari kokoh seiring dengan adanya beberapa kasus terakhir seperti Jiwasraya. Dalam UU No 29 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) memiliki sebuah klausul yang menunjukkanbahwa lembaga jasa keuangan yang dianggap dapat memicu krisis keuangan adalah bank dan bukan asuransi.

Logika dasarnya kata Deni, adalah bank memiliki ukuran aset, luas jaringan, kompleksitas transaksi dan keterkaitan yang lebih besar dengan sektor keuangan lainnya.

"Sementara itu berdasarkan akal sehat, lembaga keuangan apakah bank ataupun non bank berpotensi memiliki ukuran aset, luas jaringan, kompleksitas transaksi dan keterkaitan yang relatif besar dengan sektor keuangan lainnya," jelas Deni. 

Deni menceritakan, ketika pemerintah Amerika Serikat (AS) mengambil alih perusahaan asuransi AIG karena memiliki ukuran aset, luas jaringan, kompleksitas transaksi dan keterkaitan yang besar dengan industri keuangan. Pada saat itu AIG dimiliki oleh swasta dan diambil alih oleh negara.

Pengambilalihan oleh negara tersebut ditentang banyak pihak karena dianggap negara tidak boleh memiliki badan usaha milik negara, namun karena alasan yang kuat dari argumentasi ukuran aset, luas jaringan, kompleksitas transaksi dan keterkaitan yang sangat besar terhadap sektor perekonomian khususnya sektor keuangan maka langkah pengambilalihan tersebut juga disetujui oleh parlemen.

Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan dana yang sangat besar untuk mengambilalih AIG, namun saat ini pemerintah Amerika Serikat tidak mengalami kerugian ekonomi akibat pengambialihan tersebut. Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan dana bailout sebesar 182,3 miliar dolar AS dan menjualnya dengan mendapatkan penerimaan sebesar 205 miliar dolar AS.

Artinya, pemerintah Amerika Serikat mendapatkan keuntungan sebesar 22,7 miliar dolar AS. Dana bailout sebesar 182,3 miliar dolar AS itu berasal dari pemerintah Amerika Serikat dan bank sentral Amerika cabang New York yang merupakan pinjaman yang berikanoleh bank sentral Amerika Serikat dimana pemerintah Amerika Serikat mendapatkan 79,9 persen saham AIG.

"Penting untuk dicatat, bahwa pinjaman diberikan oleh bank sentral. Pengalaman ini yang tidak dimiliki oleh Indonesia," jelas Deni.

Terkait Jiwasraya, menurut Deni, pemerintah harus membentuk tim untuk mengevaluasi dampak sistemik dari kasus seperti Jiwasraya ini. Kata Deni, tentunya ini bukan ranah Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).

"Karena tidak ada undang-undang yang mendukung KKSK melakukan bailout terhadap Jiwasraya," tuturnya.

Lebih lanjut Deni menjelaskan, berdasarkan undang-undang yang ada, UU menutup mata bahwa kasus lembaga asuransi pasti tidak bersifat sistemik. Untuk itu ia menyarankan dibentuk sebuah tim yang sebaiknya dipimpin oleh Menteri BUMN Erick Thohir dengan penasehat yang berkualitas dan berintegritas.

"Tujuannya bukan saja menyelamatkan Jiwasraya tetapi juga memastikan bahwa Jiwasraya tidak berpotensi menjadi krisis yang bersifat sistemik, selain juga untuk menjamin pemerintah Indonesia akan mendapatkan keuntungan jika nantinya dilakukan bailout," jelas Deni.

Belajar dari pengalaman AIG yang berhasil tersebut, lanjut Deni, solusi bisnis harus lebih diutamakan. Ia berharap kepada seluruh jajaran OJK tetap profesional karena sebagai regulator dan pengawas selamanya akan diserang dan dihujat.

"Tidak akan ada yang memuji hasilnya. Walaupun IMF telah memuji OJK dalam laporan formal IMF tahun 2019 mengatakan sistem perbankan di bawah kendali OJK terbukti telah dikapitalisasi dengan baik dan profitabilitasnya tinggi dengan pengembangan aset 2,5 persen, kondisi ini dipastikan tidak akan pernah meledak menjadi krisis," pungkas Deni.