JAKARTA - Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada 2021 oleh Kementerian Kesehatan menyebut angka prevalensi stunting di Indonesia pada 2021 mengalami kemajuan. Persentasenya menurun 6,4 persen, dari 30,8 persen pada 2018 menjadi 24,4 persen pada 2021.
Tahun ini, Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin bahkan optimistis prevalensi stunting bisa menurun hingga 3 persen. Sehingga, target pemerintah menurunkan prevalensi hingga 14 persen pada 2024 lebih mudah terwujud.
“Tentu saja ini menjadi tantangan bagi kita semua untuk mencapainya. Pelaksanaan program harus dipantau, dievaluasi dan dilaporkan secara terpadu dan berkala. Sehingga dapat diketahui perkembangan, capaian, dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya, yang kemudian kita bisa mengambil langkah berikutnya untuk memastikan target prevalensi 14% pada tahun 2024 bisa dicapai,” kata Ma’ruf Amin saat memimpin Rapat Koordinasi Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) pada 11 Mei 2022.
Wapres selaku Ketua Tim Pengarah TPPS meminta program Rencana Aksi Nasional Penurunan Angka Stunting Indonesia (RAN PASTI) fokus juga ke Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Barat.
Sebab, dari hasil SSGI 2021, angka prevalensi di daerah-daerah tersebut masih tinggi di atas 30 persen. NTT sebesar 37,8 persen, Sulawesi Barat 33,8 persen, Aceh 33,2 persen, NTB 31,4 persen, Sulawesi Tenggara 30,2 persen, dan Kalimantan Selatan 30 persen.
“Selain itu, ke daerah dengan jumlah anak stunting tinggi melalui intervensi yang lebih intensif seperti, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, dan Sumatera Utara,” pinta Ma’ruf Amin.
Stunting merupakan salah satu indikator gagal tumbuh pada Balita akibat kekurangan asupan gizi kronis pada periode 1.000 hari pertama kehidupan, yakni dari anak masih dalam bentuk janin hingga berusia 23 bulan.
Genjot Target dari ASI Eksklusif
Salah satu upaya menekan angka prevalensi stunting tentu dengan pemberian ASI Eksklusif. Beragam penelitian telah membuktikan bahwa ASI merupakan imunisasi pertama untuk bayi, menghindar penyakit dan mencegah kematian bayi.
Menurut Ketua Satuan Tugas ASI IDAI Dr. dr. Naomi Esthernita F. Dewanto, selain mengandung nutrisi esensial yang dibutuhkan bayi, ASI mengandung immunoglobulin yang memperkuat sistem imun lokal saluran cerna serta komponen lain yang memiliki efek perlindungan.
“Immunoglobulin yang terkandung dalam ASI menjadi pertahanan tubuh pertama bagi bayi. Dengan terciptanya sistem imun, stunting bisa diatasi,” kata Naomi dalam Seminar Media Ikatan Dokter Anak Indonesia dalam rangka World Breastfeeding Week 2022 bertajuk ‘Step Up for Breastfeeding: Educate and Support’, Sabtu (6/8).
Tak hanya untuk bayi, pemberian ASI eksklusif minimal selama enam bulan juga bermanfaat baik bagi sang ibu. Dengan menyusui, ibu bisa menghindari diri dari risiko kanker, mengurangi risiko pendarahan, dan mengurangi kontraksi.
“Juga bisa mengurangi depresi pascamelahirkan sehingga dapat menurunkan angka kejadian bunuh diri,” lanjutnya.
Sayangnya, pemberian ASI eksklusif di Indonesia masih tergolong rendah. Data Badan Pusat Statistik 2021 menyebut belum ada provinsi yang mencapai 72 persen. Bahkan, beberapa provinsi masih di angka sekitar 50 persen. Seperti, Gorontalo, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Papua Barat, dan Kepulauan Riau.
Lalu, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, Sulawesi Tenggara, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Maluku Utara, Aceh, Bengkulu, Bali, dan Sumatera Selatan masih sekitar 60 persen.
"Tanggung jawab bersama terhadap rendahnya angka menyusui masih kurang, biasanya kita hanya melemparkan tanggung jawab tersebut hanya kepada ibu. Padahal si ibu untuk menyusui eksklusif sangat membutuhkan dukungan dari orang-orang sekitarnya," ungkap Naomi.
Termasuk juga dari dokter, konselor, pembuat kebijakan, pengusaha, media, dan anggota keluarga.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K) juga meminta dokter dan tenaga kesehatan mengampanyekan pemberian ASI eksklusif kepada para ibu yang baru melahirkan.
Jangan diarahkan untuk memberikan susu formula. Terlebih, saat 2 hari pascamelahirkan di mana ASI masih sulit keluar.
“Di situ mulai deh godaan. Kasihan bayimu itu tega sekali jadi ibu, nanti bayinya rewel. Kalau ibunya paham, dokternya paham, perawatnya paham, suaminya paham, eyangnya paham. Enggak bakal tergoda (memberikan susu formula), karena bayi 24 jam pertama bahkan dua hari pertama bisa tanpa ASI,” terang dr. Piprim dalam acara yang sama.
"Kuncinya adalah kesabaran semua pihak di hari-hari pertama kehidupan bayi, karena di situ ketika langsung dikasih sufor (susu formula), bayinya kenyang. Nah kalau bayinya kenyang, nyedotnya lemah. Kalau nyedotnya lemah, produksi ASI makin seret. Sudah, muter-muter di situ saja," dr. Piprim menambahkan.
Ada pun untuk sang ibu, ada baiknya pasca melahirkan menerapkan pola makan yang sehat untuk kelancaran ASI. Seperti, mengonsumsi air putih 3 liter per hari, rutin serta mengonsumsi protein dan sayuran. Penting pula mengatur kondisi mental agar ASI dapat keluar dengan lebih baik.
"Bayi rewel hari-hari pertama enggak ada ASI diapain? Dibiarkan saja, di puk-puk saja, didoain supaya bayinya tenang. Sama-sama tenang semua. Tunggu tanggal mainnya, ASI akan deras sendiri di hari ketiga dan keempat," ucap dr. Piprim.
Tantangan Mewujudkan Target 14 Persen
Stunting tentu tak lepas dari upaya pemerintah meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Target 14 persen pada 2024 kemungkinan sulit dicapai mengingat persentase penduduk miskin pasca pandemi COVID-19 terus bertambah.
Saat ini saja, berdasar data Badan Pusat Statistik, persentase jumlah penduduk miskin hingga Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang. Lalu, data Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia (PMK) 2019 menyebut, ada 57 juta keluarga prasejahtera, bahkan kemungkinan meningkat pascapandemi.
Keluarga prasejahtera adalah kelompok yang tidak dapat memenuhi salah satu dari enam kebutuhan dasar keluarga, seperti kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan.
Melansir dari Kompas.com fasilitator Kementerian Sosial, Mujiastuti tak menampik permasalahan kemiskinan bisa menjadi batu sandungan menyukseskan program untuk menekan angka prevalensi stunting.
Namun, bukan hanya itu, konstruksi sosial budaya yang ada di masyarakat juga harus diubah. Masih terdapat kebiasaan terkait pola asuh dan cara hidup yang kurang sesuai dalam praktik pencegahan stunting.
Contoh, mengutamakan para suami atau anak laki-laki mengonsumsi makanan bergizi tinggi dibandingkan ibu yang sedang hamil atau anak perempuan.
Juga, kebiasaan memberikan pisang sebagai makanan untuk bayi yang masih berusia di bawah enam bulan agar anak kenyang dan tidak rewel. Padahal, pada periode ini asupan gizi terbaik bagi bayi adalah ASI eksklusif.
“Belum lagi, akses terhadap informasi berkualitas, dan lemahnya pengetahuan terkait pencegahan stunting hingga menempatkan anak-anak dari keluarga pra sejahtera berpotensi mengalami stunting,” terang Mujiastuti.
Faktor-faktor itulah yang menjadi tantangan, tidak hanya pemerintah, tetapi juga seluruh masyarakat.
BACA JUGA:
Mengutip pernyataan Presiden Jokowi saat peringatan Hari Keluarga Nasional 2022, anak-anak merupakan penentu masa depan Indonesia. Jika anak-anak Indonesia tumbuh sehat dan cerdas, mereka bisa lebih mudah bersaing dengan generasi penerus dari negara lain.
"Tapi kalau anak kita stunting, gizinya enggak baik, nutrisinya enggak tercukupi, ah sudah nanti ke depan bersaing dengan negara-negara lain akan sangat kesulitan. Ini yang selalu saya ingatkan,” kata Presiden Jokowi.