JAKARTA - Pada Sabtu 26 Februari 2022 waktu Ukraina muncul kabar yang tak terduga dari Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky. Melalui sekretaris media kepresidenan, Sergey Nikoforov, dikabarkan bahwa Zelensky sedang mempertimbangkan untuk menerima proposal dari musuhnya, Presiden Rusia Vladimir Putin.
Zelensky dikabarkan akan menyetujui gencatan senjata, dan tawaran damai yang disyaratkan Rusia.
“Saya harus membantah tuduhan bahwa kami telah menolak untuk melakukan pembicaraan. Ukraina selalu dan siap untuk merundingkan perdamaian dan gencatan senjata. Ini adalah posisi permanen kami. Kami telah menerima proposal Presiden Rusia," tulis Nikoforov dalam akun Facebooknya, yang kemudian dilansir kantor berita Rusia, Tass.
Menurut Nikoforov, konsultasi sedang berlangsung tentang tempat dan waktu negosiasi. Semakin cepat pembicaraan dimulai, semakin banyak peluang untuk memulihkan kehidupan normal.
Sekretaris pers kepresidenan Rusia Dmitry Peskov, sebelumnya mengatakan bahwa Putin siap mengirim delegasi ke Minsk untuk melakukan pembicaraan dengan Ukraina. Kemudian, Nikoforov mengatakan bahwa sebagai tanggapan atas inisiatif untuk mengadakan pembicaraan di ibu kota Belarusia, pihak Ukraina menyarankan Warsawa di Polandia sebagai tempat yang memungkinkan untuk berunding. Namun kontak Rusia dan Ukraina soal rencana gencatan senjata itu belum berlanjut lagi.
Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan dalam pidato yang disiarkan televisi pada Kamis pagi 24 Februari 2022, bahwa sebagai tanggapan atas permintaan para Kepala Republik Donbass, dia telah membuat keputusan untuk melakukan operasi militer khusus demi melindungi orang-orang "yang telah menderita pelecehan dan genosida oleh rezim Kyiv selama delapan tahun."
Putin menekankan dalam pidatonya, bahwa Rusia sama sekali tidak berniat untuk menduduki Ukraina. Wilayah Donbass dengan dua kota utamanya, Donetsk dan Luhansk pada 2014 menyatakan kemerdekaan dari Ukraina. Oleh Pemerintah Ukraina, kedua negara baru yang diberi nama Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk dicap sebagai teroris.
Rusia lantas membela Donetsk dan Luhansk, yang memang mayoritas warganya berasal dari etnis Rusia. Perselisihan tersebut menyulut Perang Donbass pada tahun 2014. Perang berhenti setelah perjanjian gencatan senjata ditandatangani Ukraina dan Rusia di Ibu Kota Belarusia, Minsk pada 5 September 2014 dan diperbarui 15 Februari 2015.
Ada upaya berikutnya untuk memperbarui gencatan senjata lewat Perjanjian Minsk II pada 1 September 2015. Tetapi yang terjadi justru eskalasi ketegangan semakin meningkat, sampai akhirnya Rusia mengakui kemerdekaan Donetsk dan Luhansk sebagai negara yang lepas dari Ukraina pada 21 Februari 2022. Keputusan Putin itulah yang menyulut perang saat ini.
Persenjataan Nuklir
Selain soal Donbass yang sudah delapan tahun bergejolak, Putin juga punya alasan kuat yang membuatnya harus menggerus Ukraina. Alasan itu adalah soal persenjataan nuklir yang dimiliki Ukraina.
“Kami juga tahu bahwa Ukraina bermaksud untuk mengembangkan senjata nuklirnya sendiri, dan itu bukan omong kosong. Ukraina memang memiliki teknologi nuklir Soviet dan sistem pengiriman untuk senjata semacam itu, termasuk penerbangan dan rudal taktis Tochka-U,” kata Putin.
“Semua dikembangkan kembali dari era Soviet. Jangkauan rudal mereka lebih dari 100 km, tetapi akan dikembangkan sehingga memiliki jangkauan yang lebih jauh. Ini hanya masalah waktu. Ingat, mereka punya landasan dari era Soviet,” kata Putin melanjutkan.
Wilayah Ukraina memang menjadi pusat pengembangan nuklir di era Uni Soviet. Masih ingat tragedi Chernobyl? Reaktor Chernobyl adalah reaktor nuklir terbesar Uni Soviet yang dibangun di wilayah Ukraina sekarang. Pada 26 April 1986 reaktor itu meledak, dan peristiwa tersebut disebut sebagai kecelakaan nuklir paling mengerikan di muka bumi. Kerusakan alam sebagai akibat radiasi nuklir masih dirasakan hingga saat ini, setelah 36 tahun tragedi terjadi.
“Jika Ukraina memperoleh senjata pemusnah massal, maka situasi Eropa dan dunia akan berubah drastis. Apalagi jika para dermawan dari Negara Barat membantu kemunculan senjata semacam itu di Ukraina. Tentu itu merupakan ancaman sangat serius bagi Rusia,” ujar Putin lagi menegaskan.
Sikap Ambigu Zelensky
Pernyataan bahwa Presiden Zelensky bakal menerima tawaran gencatan senjata dari Putin berbanding terbalik dengan apa yang mantan komedian itu tampilkan dalam unggahan video di media sosial.
Dalam video tersebut Zelensky justru mengobarkan semangat perang kepada pasukan Ukraina.
“Saya di sini. Kami tidak akan meletakkan senjata dan tetap akan membela negara kami. Karena senjata kami adalah kebenaran kami," kata Zelensky, menyanggah klaim bahwa dia telah menyerah atau melarikan diri.
"Banyak informasi palsu telah muncul di internet yang mengatakan bahwa saya diduga meminta tentara kita untuk meletakkan senjatanya dan evakuasi sedang berlangsung," kata Zelensky lagi dalam video tersebut, yang dibuat di luar kantornya di Kyiv.
Не вірте фейкам. pic.twitter.com/wiLqmCuz1p
— Володимир Зеленський (@ZelenskyyUa) February 26, 2022
Zelensky yang antiRusia sudah meminta bantuan kemana-mana, tapi tak dapat apa-apa. Negara-negara yang tergabung dalam NATO tidak juga menurunkan bantuan yang dijanjikan. Sang Presiden bahkan sampai meminta bantuan ke India dengan menghubungi PM Narendra Modi, memintanya agar memberikan dukungan politik. Padahal India adalah negara yang punya hubungan sangat dekat dengan Rusia, yang ditunjukkan dengan memilih sikap abstain dalam pemungutan suara di PBB untuk mengutuk invasi Rusia.
Volodymyr Zelensky tells Ukrainians he will remain in Kyiv pic.twitter.com/ki808jzFxZ
— TIME (@TIME) February 26, 2022
Pilihan untuk menerima tawaran gencatan senjata adalah yang terbaik bagi Voldymyr Zelensky. Dengan begitu, sebagai pemimpin dia sudah melindungi rakyat Ukraina dari penderitaan yang lebih parah. Tidak ada peluang bagi Ukraina untuk memenangi perang melawan Rusia. Berunding untuk mencari jalan tengah adalah pilihan terbaik untuk meredam konflik Rusia dan Ukraina saat ini.