Bagikan:

JAKARTA - Langkah pencegahan dan pengobatan sama-sama berperan penting di tengah lonjakan kasus COVID-19. Langkah ini sebagai upaya persiapan bagi Indonesia menghadapi potensi gelombang pasang pandemi.

Menyikapi infeksi virus Corona yang terus mengancam, setidaknya ada empat hal utama yang dilakukan sejumlah negara untuk menghadapi pandemi, yaitu pengendalian mobilitas warga, penerapan protokol kesehatan, vaksinasi COVID-19, dan pengobatan. Aspek terakhir, yaitu keberhasilan pengobatan, menjadi harapan besar dunia dalam menghadapi wabah korona.

Di tengah lonjakan kasus infeksi COVID-19 yang disebabkan varian Omicron, WHO merekomendasikan obat baru bagi pasien dengan gejala berat dan kritis. Perkembangan dan ketersediaan obat COVID-19 turut menjadi harapan dunia dalam menghadapi pandemi Corona.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara berkala memperbarui pedoman pengobatan COVID-19 seiring dengan perkembangan pengobatan infeksi Virus Corona. Pada 14 Januari 2022, WHO menerbitkan dokumen pedoman pengobatan pasien COVID-19. Dalam dokumen kedelapan bertajuk ”Therapeutics and COVID-19: Living Guideline” tersebut ada 14 rekomendasi baru terkait pengobatan COVID-19, salah satunya adalah obat baru untuk pasien dengan gejala berat dan kritis.

Mural berisi seruan untuk melawan wabah Virus Corona COVID-19. (Foto: Antara)

Bahasan mengenai obat untuk pasien COVID-19 menjadi bagian krusial dalam penanganan pandemi. Di Indonesia telah ada aturan yang mendasari klaim penggantian biaya perawatan pasien, yaitu Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/5673/ 2021.

Biaya perawatan yang ditanggung pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencakup administrasi pelayanan, akomodasi ruang rawat inap, jasa dokter, ruang isolasi, pemeriksaan penunjang, obat-obatan dan alat kesehatan, serta alat pelindung diri (APD).

Kementerian Kesehatan membagi jenis obat yang digunakan di Indonesia terpisah menjadi tiga bagian, yaitu multivitamin, obat simtomatik, dan antivirus. Dua jenis vitamin yang wajib diberikan untuk semua pasien dengan berbagai gejala adalah vitamin C dan D.

Sementara obat simtomatik disesuaikan dengan jenis gejala yang muncul. Gejala paling lazim muncul adalah demam sehingga jenis obat yang diberikan adalah paracetamol, biasa ditambah obat pereda nyeri. Khusus obat antivirus, jenis obat disesuaikan dengan derajat keparahan. Khusus pasien gejala sedang-berat ditambahkan oksigenasi dalam perawatannya.

Lima obat antivirus yang digunakan di Indonesia adalah favipiravir, molnupiravir, nirmatevir, ritonavir, dan remdesivir. Bagi pasien bergejala sedang, diberikan pula pengobatan antikoagulan untuk mencegah terjadinya penggumpalan darah. Sementara pasien gejala berat perlu mendapatkan kortikosteroid dan IL-6.

Bagi pasien di Indonesia, stok obat yang tersedia di dinas kesehatan per provinsi terbilang memadai. Data per 28 Januari 2022, pemerintah telah menyediakan stok lima jenis obat, yaitu favipiravir (6,69 juta butir), remdesivir (233.700 vial), tocilizumab 400 mg/20 ml (303 vial), tocilizumab 80 mg/4 ml (748 vial), dan multivitamin (6,44 juta butir).

Varian Obat

Perkembangan riset klinis obat untuk pasien COVID-19 terus berlanjut hingga saat ini. Dokumen ”Therapeutics and COVID-19: Living Guideline” edisi kedelapan yang disusun WHO menjelaskan perkembangan terbaru penggunaan obat, termasuk obat apa saja yang sudah tidak direkomendasikan.

Ada tiga rekomendasi baru dari WHO terkait pengobatan COVID-19. Pertama, obat baricitinib dapat dipakai sebagai alternatif pengganti IL-6 untuk pasien gejala berat hingga kritis. Penggunaan obat baricitinib atau IL-6 dikombinasikan dengan kortikosteroid.

Poster yang menjelaskan tentang upaya Pemerintah Indonesia untuk memproduksi sendiri obat COVID-19. (Sumber: Kemenkominfo)

Kedua, rekomendasi alternatif terhadap obat ruxolitinib dan tofacitinib untuk pasien gejala berat dan kritis. Untuk pasien gejala berat dan kritis, WHO sangat merekomendasikan baricitinib dibandingkan dua obat lain, yaitu ruxolitinib dan tofacitinib. Ketiga, rekomendasi alternatif bagi pasien tak bergejala berat adalah obat sotrovimab.

Selain tiga temuan baru tersebut, WHO juga menegaskan berbagai jenis obat/terapi yang harus dilarang penggunaannya untuk pasien COVID-19, kecuali dalam konteks uji klinis. Dalam dokumen ”Therapeutics and COVID-19: Living Guideline” edisi ketujuh yang dirilis pada 7 Desember 2021, terapi plasma konvalesen harus dihentikan secara keseluruhan.

Isolasi Mandiri

Konsumsi obat untuk pasien terkonfirmasi COVID-19, khususnya pasien isolasi mandiri di rumah, tidak bisa dilakukan secara sembarangan tanpa pantauan tenaga medis. Setiap jenis obat memiliki efek samping sehingga dosis yang diberikan harus terukur.

Dari ribuan kasus aktif, hanya 12 persen pasien yang dirawat di rumah sakit. Artinya, pasien saat ini didominasi pasien isolasi mandiri atau yang menggunakan fasilitas isolasi terpusat. Bagi pasien isolasi mandiri, pemantauan kondisi medis mutlak dibutuhkan, khususnya pemberian obat-obatan yang tepat.

Kemenkes telah menyiapkan paket obat bagi pasien tanpa gejala dan bergejala ringan, khususnya pasien isolasi mandiri, yang bisa diakses melalui telemedicine. Paket untuk pasien tanpa gejala berisikan multivitamin C, B, E, dan Zinc sebanyak 10 butir. Sementara paket untuk pasien gejala ringan terdiri dari multivitamin C, B, E, dan Zinc (20 butir), favipiravir 200 mg atau malnupiravir 200 mg (40 butir), dan parasetamol 500 mg (20 butir).

Pengadaan obat bagi pasien COVID-19 sama pentingnya dengan vaksinasi, terlebih bagi pasien yang mengalami gejala. Banyak nyawa bisa diselamatkan melalui pengobatan atau terapi yang tepat, mulai dari multivitamin, obat simtomatik, hingga antivirus.

Menurut rilis Shinologi Lab. Japan yang dikutip Reuters, saat ini obat oral produksi Merck dan Pfizer sudah diborong dan dipesan negara-negara kaya di Eropa dan Amerika. Bahkan Jepang pun hanya kebagian molnupiravir 1,6 juta dosis dengan membayar 1,2 miliar dollar AS. Kekurangannya akan dipenuhi oleh obat oral Shionogi.

Terapi plasma konvalesen sudah tidak direkomendasikan untuk COVID-19. (Foto: Antara/Nova Wahyudi)

Negara berpenghasilan menengah kebagian dari perusahaan farmasi yang mendapat voluntary licensing (VL) dari pemegang paten. Misalnya, Indonesia membeli molnupiravir dari Hetero Labs Ltd, India.

Belajar dari kasus vaksin COVID-19 yang sempat terhambat ketika negara produsen dilanda gelombang kasus besar, langkah pemerintah untuk memastikan ketersediaan obat sudah tepat. Yakni, mendorong produksi obat di Indonesia. Tentu saja tidak sekadar mengemas, tetapi juga mampu memproduksi bahan baku.

Hingga kini penelitian tentang obat masih terus berlanjut. WHO akan memberikan rekomendasi baru jika ditemukan bukti-bukti medis terkait jenis obat COVID-19, termasuk akan melarang penggunaan obat yang dinilai berbahaya dan tidak memberikan dampak signifikan. Perkembangan riset pengobatan dan ketersediaan obat COVID-19 menjadi harapan dunia dalam menghadapi pandemi Corona yang belum berakhir.