JAKARTA - Presiden Joko Widodo mengundang puluhan pemengaruh atau influecer ke Istana Merdeka, Selasa 14 Juli untuk membantu menyuarakan penerapan protokol kesehatan kala pandemi COVID-19. Namun ada beberapa "duta corona" yang terlihat gagal paham tentang COVID-19. Lantas efektifkah strategi sosialisasi yang diterapkan pemerintah ini?
Mereka yang diundang Presiden Jokowi antara lain, Raffi Ahmad, Andre Taulany, Ari Lasso, Cak Lontong, Butet Kertaradjasa, Yovie Widianto, Tompi, Yuni Shara, Desta, Anji, Gading Marten, Once Raisa, hingga Atta Halilintar. Menurut salah seorang di antara mereka, Butet, Jokowi sengaja mengundang mereka untuk menyuarakan penerapan protokol kesehatan demi menekan penyebaran COVID-19.
Tapi alih-alih mensosialisasikan protokol kesehatan, beberapa dari mereka malah mengeluarkan pernyataan atau unggahan kontroversial. Salah satunya seorang Penyanyi Erdian Aji Prihartanto atau Anji.
Anji setidaknya sudah dua kali melakukan blunder terkait opininya tentang COVID-19. Yang terbaru ia mewawancarai seorang yang disebut sebagai seorang pakar mikrobiologi lengkap dengan gelar profesor, Hadi Pranoto.
Hadi mengaku telah menciptakan obat COVID-19. "Obat untuk COVID-19. Bisa menyembuhkan dan mencegah," kata Hadi. Ia mengatakan obat tersebut berjenis herbal. Ia bisa membunuh virus corona baru hanya dalam waktu 2-3 hari.
Ia tak mau obatnya disamakan dengan vaksin COVID-19 yang masih diuji klinis. Karena menurutnya obat tersebut berbeda. "Kalau vaksin disuntikkan, kalau obat ini diminum."
Tapi belakangan, menurut pemberitaan Tempo, sejumlah pakar medis dan mikrobiologi meragukan klaim Hadi. Keraguan itu muncul karena banyak istilah yang digunakan oleh "Profesor" ini justru tak dikenal di dunia medis.
Contohnya saja soal istilah antibodi yang disematkan sebagai nama obat Hadi. Padahal antibodi adalah zat yang diproduksi dalam tubuh. Bukan diproduksi di luar, lalu diminum. "Dia sebenarnya tahu antibodi itu apa enggak sih," kata Pengajar mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Agung Dwi Widodo.
Selain polemik tersebut, Anji juga pernah membuat pernyataan yang mendiskreditkan jurnalis pemoto jenazah pasien COVID-19 dibungkus plastik. Sementara di Twitter ia mengatakan "saya percaya COVID-19 itu nyata, tapi tidak semengerikan apa yang diberitakan media."
Bukan cuma Anji salah seorang pemengaruh blunder yang digaet pemerintah untuk mensosialisasikan penerapan protokol kesehatan COVID-19. Tapi ada pula Yuni Shara, pelantun "50 Tahun Lagi.
Ia mengatakan kalung eucalyptus atau kalung anti Corona yang dibuat oleh Kementerian Pertanian membuatnya lebih aman ketika beraktivitas. Padahal kalung tersebut sempat ramai dibicarakan karena khasiatnya diragukan.
Mungkin Yuni Shara belum paham betul bahwa kalung itu masih menjadi perdebatan publik. Pasalnya, Yuni juga sempat kebingungan memahami istilah-istilah yang berkaitan dengan COVID-19.
Sejak wabah virus corona masuk Indonesia, muncul beberapa istilah baru. Di antaranya ODP, PDP, OTG, APD, Lockdown, dan PSBB.
Untuk itu, mantan kekasih Raffi Ahmad ini mengakui dirinya bingung dengan banyaknya singkatan maupun istilah yang muncul. Hal itu diungkapkan Yuni lewat akun Instagramnya.
Strategi hambar
Pakar Komunikasi dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing menilai secara kajian akademik, penggunaan influencer tak begitu efektif untuk sampai mempengaruhi perilaku masyarakat. Menurutnya strategi itu hanya mampu memengaruhi level kesadaran.
"TIdak begitu kuat pengaruhnya terhadap penggunaan alat pelindung diri atau menuruti apa yang dibuat pada protokol kesehatan COVID-19," kata Emrus ketika dihubungi VOI. Menurutnya dalam membangun sebuah pesan komunikasi kepada masyarakat tak boleh asal. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan.
Bukan hanya menggunakan pemengaruh, menurut Emrus pemerintah juga perlu melibatkan opinion leader lain seperti tokoh masyarakat, adat dan agama. "Itu harus dimaksimalkan. Tidak hanya sekadar popularitas dari influencer saja."
Sementara itu, desain pesan komunikasi yang dibuat juga tak boleh asal-asalan. Kata Emrus, setiap pesan komunikasi perlu diklasterisasi. "Harus dilakukan (membagi) klaster-klaster masyarakat seperti di desa atau kota dengan berbagai tingkat pendidikan dan lainnya. Sehingga pesan komunikasinya bisa didesain," ujarnya.
Hal itu penting, karena menurut Emrus tidak ada pesan komunikasi yang dibuat untuk semua orang. Pesan itu harus dibuat menyesuaikan siapa khalayaknya. "Jadi harus dibuat berbeda-beda," tambahnya.
Selain itu kata Emrus, yang tak kalah penting dari desain produksi pesan yakni perlu menggunakan kearifan lokal. Misalnya menggunakan simbol-simbol yang berasal dari komunitas masyarakat tertentu, misalnya apabila di Papua, maka gunakan bahasa Papua, di Sulawesi gunakanlah bahasa Sulawesi dan begitu juga di daerah lainnya.
"Jadi tidak hanya sekadar menggunakan influencer. Melainkan dirancang secara keseluruhan, sehingga baru bisa dikatakan efektif," pungkasnya.