JAKARTA - Produk minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia sering mendapat hambatan perdagangan terutama dari negara-negara Uni Eropa (UE). Pasalnya, produktivitasnya yang tinggi sulit disainggi oleh produk minyak nabati sejenis yang dihasilkan oleh UE.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Wisnu Wardhana mengatakan, produk CPO Indonesia sejauh ini telah mengalami hambatan ekspor di Amerika Serikat, Rusia, Prancis, dan Uni Eropa. Hal itu cukup mengherankan lantaran hambatan untuk produk minyak nabati lain tidak sebanyak yang dialami CPO.
“Kita sering mendapatkan gangguan dari isu lingkungan, kesehatan, keberlanjutan, hingga ketenagakerjaan. Ini menjadi tantangan bagi kami, meskipun kita sudah punya sertifikat ISPO, penundaan perluasan lahan sawit hingga peremajaan perkebunan,” katanya di Jakarta, Kamis 19 Desember.
Wisnu menambahkan, pemerintah Indonesia tidak bisa tinggal diam menghadapi hambatan dagang yang dilakukan negara lain. Pasalnya, perkebunan CPO terbukti menaungi 2,6 juta petani swadaya dan 4,3 juta pekerja sektor lain.
Sementara itu, industri pengolahan CPO menyerap 4,2 juta pekerja langsung dan 12 juta pekerja tidak langsung. Industri CPO pun menyumbang 3,5 persen dari total produk domestik bruto (PDB) nasional.
Adapun berdasarkan data yang dimiliki oleh Kemendag, hambatan dagang salah satunya dilakukan oleh AS dengan memberlakukan bea masuk antidumping (BMAD) untuk biodiesel. Sementara itu, di Prancis terdapat hambatan berupa penghapusan insentif pajak untuk biofuel dari minyak kelapa sawit. Kebijakan hampir serupa juga dilakukan oleh Rusia.
Selanjutnya di Uni Eropa, gangguan yang dialami CPO dan produk turunannya cukup beragam, antara lain tudingan subsidi terhadap biodiesel, Renewable Energy Directive (RED) II, batasan kandungan 3-monochloropropanediol (MCPD) dan glycidyl ester (GE) pada produk minyak sawit.
Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan peranan industri sawit sangat krusial bagi perekonomian nasional. Bahkan, nilai ekspor hasil perkebunan kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) mengalahkan ekspor produksi Migas.
Heri mengakui, jika ekspor produk CPO bisa dioptimalkan dapat memperbaiki defisit transaksi neraca perdagangan (CAD). “Tahun lalu saja CAD kita defisit US$8miliar. Dengan genjot ekspor hasil perkebunan sawit bisa memperbaiki CAD kita,” kata Heri.
Selain itu, lanjut Heri, produk turunan CPO juga dapat memperkuat struktur industri dalam negeri. Untuk itu, pemerintah dan industri kelapa sawit harus fokus memperbaiki hilirisasi produk CPO.
“Semakin ke hilir ekspornya semakin sedikit. CPO bisa jadi produk makanan, mosmetik, energi dan kimia. Ini hilir sawit, kita mau fokus kemana,” ujar Heri.
Heri menambahkan, peluang paling besar untuk hilirisasi CPO ada di sektor energi. Misalnya, fokus mengembangkan industri Fatty Acid Methyl Ester (FAME). Apalagi ekspor FAME Indonesia baru mencapai 1,6 persen dari total ekspor dunia yang mencapai US$45miliar.
“Ini kan bahan campuran Bahan Bakar Nabati (BBN). Potensi ekspor ini cukup luas, mengingat tren penggunaan BBN di dunia semakin meningkat. Saat ini Cina, Jepang, AS dan UE pengguna FAME terbesar,” kata Heri.
Menurut anggota Komisi IV DPR Daniel Johan, sosialisasi terkait pentingnya industri kelapa sawit atau CPO bagi perekonomian nasional perlu digalakan secara massif oleh para stakeholder, termasuk media.
Apalagi, pada tahun 2025, ketika penduduk dunia mencapai 8 miliar orang, diprediksi akan ada peningkatan kebutuhan Bahan Bakar Minyak Nabati (BBN). “Sosialisasi bagi masyarakat dalam negeri maupun global sangat penting, karena ke depan energi fosil kebutuhannya akan terbatas,” kata Daniel.
Apalagi, lanjut Daniel, seluruh stakeholder terkait diharapkan mampu mensosialisasikan dan menjawab isu-isu lingkungan maupun kesehatan yang dilancarkan oleh negara-negara Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat perihal dampak penggunaan CPO.
Faktanya, kata Daniel, dibanding tanaman soya bean ataupun sunflowers, CPO lebih dapat mengemat lahan, sehingga isu yang mengaitkan antara CPO dengan isu lingkungan tidak relevan lagi.
“Luas lahan minyak nabati seluruhnya 200,5 juta ha. CPO hanya 20,5 persen atau 10 persennya saja. Sawit bisa menghasilkan 4 ton per hektare, kedelai hanya 0,5 ton per hektare dan sunflowers hanya 0,7 ton per hektare-nya,” ungkap Daniel.
Politisi PKB ini mengingatkan UE agar tidak lagi berlindung di balik isu lingkungan untuk menyerang perdagangan CPO Indonesia. “Kalau ingin menyelamatkan lingkungan, bantu saja sawit Indonesia. Terutama sawit rakyat, yang produktivitasnya rendah masih 1,6 juta per ha. Jadi, tidak perlu menambah lahan, sekaligus mengurangi kemiskinan,” kata Daniel.
Daniel menduga, kondisi saat ini, perang dagang UE terhadap Indonesia. Apalagi, produksi CPO mencapai 41 juta ton atau menguasai 60 persen pangsa pasar dan ekspornya mencapai 32 juta ton.
Ia menyayangkan, meski Indonesia menguasai 60 persen market share CPO dunia, tetapi tidak mampu mengontrol harga sawit dunia. Ia pun mempertanyakan, peranan stakeholder seperti Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang belum optimal.
“Menurut saya ini tidak masuk di akal. Ke depan harus dibenahi. BPDPKS harus berbenah, jangan hanya memungut dana saja, tapi harus gencar juga sosialisasi. Perkuat hilir juga, jangan hanya CPO,” pungkas Daniel.