JAKARTA - Keputusan Mahkamah Agung (MA) mencabut dan membatalkan aturan pengetatan pemberian remisi terhadap koruptor lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 jadi sorotan. Hasil putusan dari judicial review atau uji materi ini dipertanyakan dan dianggap mengkhawatirkan.
Mahkamah Agung mengabulkan uji materi terhadap sejumlah pasal dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Aturan ini mengatur perihal pengetatan pemberian remisi terhadap koruptor, teroris, dan pelaku tindak kejahatan narkotika.
Putusan tersebut diajukan oleh mantan kepala desa Subowo dan empat orang lainnya. Mereka adalah warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung. Majelis Hakim yang memutuskan diketuai hakim Supand dan beranggotakan hakim Yodi Martono Wahyunadi serta Is Sudaryono.
Dalam putusannya, hakim menimbang fungsi pemidanaan tidak lagi sekadar memenjarakan pelaku agar jera tapi juga usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model hukum yang memperbaiki atau restorative justice.
BACA JUGA:
Alasan lainnya, hakim menimbang bahwa narapidana adalah subjek yang dapat melakukan kekhilafan namun tidak harus diberantas. Menurut mereka, yang harus diberantas adalah faktor yang penyebab narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum.
Putusan itu kemudian disoroti banyak pihak dan salah satunya adalah pakar hukum tata negara, Feri Amsari. Ia mempertanyakan alasan Mahkamah Agung memutuskan untuk mengabulkan uji materi tersebut dengan pertimbangan yang ada.
"Kalau kita lihat putusan MA dalam kasus ini patut dipertanyakan karena putusan MA tentang hal yang sama dulunya menegaskan bahwa tak ada permasalahan soal pembatasan hak," kata Feri kepada wartawan, Senin, 1 November.
Lagipula ia menganggap pembatasan hak bagi narapidana dalam tindak pidana khusus seperti korupsi, terorisme, dan narkotika sudah banyak dilakukan di berbagai negara. "Oleh karena itu keputusan ini sangat janggal dan tidak sehat bagi upaya pemberantasan korupsi," tegas Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas ini.
Dengan dicabutnya peraturan ini, kata Feri, narapidana tindak pidana khusus termasuk koruptor akan mudah menerima remisi karena tak ada syarat khusus. Padahal, saat peraturan pemerintah ini berlaku mereka harus menjalankan syarat yang ada termasuk menjadi justice collaborator atau pelaku yang bekerja sama di mana hal ini sangat penting.
Feri mengatakan justice collaborator selama ini penting dalam mengungkap kasus korupsi untuk membongkar keterlibatan pihak lain. "Dengan adanya konsep JC negara terbantu, aparat terbantu dalam mengungkap perkara. Sehingga pilihan MA ini jelas janggal dalam praktik pemberantasan korupsi," tegasnya.
Senada, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana juga menilai adanya inkonsistensi dalam putusan MA tersebut.
Menurutnya, hasil uji materil ini tidak sesuai dengan putusan Nomor 51 P/HUM/2013 dan Nomor 63 P/HUM/2015 yang secara tegas menyatakan perbedaan syarat pemberian remisi merupakan konsekuensi logis terhadap adanya perbedaan karakter jenis kejahatan, sifat bahayanya, dan dampak kejahatan yang dilakukan oleh seorang terpidana.
Sehingga, dia menilai pertimbangan majelis hakim untuk mencabut dan membatalkan aturan itu sejalan dengan niat buruk pemerintah melonggarkan pemberian remisi kepada para narapidana kasus korupsi.
"Putusan MA semakin mengkhawatirkan terlebih pertimbangan-pertimbangan majelis hakim juga sejalan dengan niat buruk pemerintah untuk memperlonggar pemberian remisi kepada koruptor," kata Kurnia dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 30 Oktober.
Tak hanya itu, MA juga dianggap salah mengartikan makna penerapan restorative justice di mana pemberian remisi adalah hak bagi narapidana tapi harus ada syarat khusus bagi pelaku tindak pidana khusus. Sehingga menurutnya, putusan ini sama seperti Mahkamah Agung tengah berupaya menyamakan kejahatan korupsi dengan tindak kejahatan umum lain.
Terakhir, Kurnia juga menganggap lembaga itu telah keliru melihat persoalan kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan. Menurutnya, masalah klasik di rutan maupun lapas tersebut bukan karena syarat pemberian remisi tapi terkait regulasi dalam bentuk perundangan yang salah satunya adalah terkait narkotika.
"Berdasarkan data dari sistem database pemasyarakatan per Maret tahun 2020, jumlah terpidana korupsi sebenarnya hanya 0,7 persen (1.906 orang). Angka tersebut berbanding jauh dengan total keseluruhan warga binaan yang mencapai 270.445 orang. Melihat data tersebut, pertimbangan majelis hakim MA menjadi semakin tidak masuk akal," jelas Kurnia.
Melihat kondisi itu, ICW meminta semua pihak tidak kemudian memanfaatkan putusan tersebut. "Merujuk dari catatan-catatan di atas, ICW mendesak Pemerintah dan DPR untuk tidak memanfaatkan putusan MA dalam RUU PAS sebagai dasar untuk mempermudah pengurangan hukuman para koruptor," pungkasnya.