Bagikan:

JAKARTA - Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai korupsi akan merajalela setelah Mahkamah Agung (MA) membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Penyebabnya, pembatalan aturan ini sama saja seperti menempatkan korupsi sebagai tindak pidana umum.

"Jika korupsi disamakan dengan kejahatan lain, maka bisa dipastikan eskalasi korupsi terus akan meningkat terutama pada kegiatan atau proyek yangg menggunakan anggaran negara karena tidak ada lagi pihak yang ketat mengawasi terutama penegakan hukum dengan ancaman hukuman dan pemberatannya," kata Fickar kepada wartawan, Senin, 1 November.

Tak hanya itu, ia menganggap putusan ini sama saja menunjukkan turunnya semangat pemberantasan korupsi di kalangan hakim agung. Padahal, aturan ini harusnya jadi upaya terakhir untuk memberangus keberanian seseorang melakukan tindak pidana khusus, terutama korupsi.

Fickar juga menganggap tak ada lagi pembeda antara tindak pidana khusus dan tindak pidana umum. Sehingga, dia meyakini putusan MA itu akan membuat koruptor mendapat diskon masa hukuman dengan lebih mudah.

"Karena setiap pelaku korupsi yang dihukum dengan dengan sumber daya yang ada tidak mustahil akan memborong remisi dengan berbagai alasan yang dapat dikalkulasi," tegas Fickar.

Berkaca dari kondisi ini, dirinya kemudian meminta agar setiap aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana khusus seperti korupsi untuk memaksimalkan tuntutan mereka kepada para pelaku.

"KPK maupun Kejaksaan Agung untuk menuntut dengan tuntutan maksimal terhadap para koruptor. Demikian para hakim harus menegaskan kembali komitmen pemberantasan korupsi sehingga jika hak remisi tetap jalan hukumannya sudah maksimal," ungkap Fickar.

Tak hanya itu, dia juga meminta agar kasus korupsi dituntaskan sampai ke akarnya. Fickar menganggap hal ini perlu dilakukan agar tidak ada pihak lain yang saling membantu termasuk mengintervensi kasus hukum yang sedang berjalan.

"Saling melindungi antar penjahat itu merupakan sikap yang alamiah sebagai semangat satu kelompok dan semangat senasib," ujarnya.

"Karena itu perlu ada peningkatan kemampuan di kalangan penegak hukum agar pembongkaran korupsi dapat dilakukan sampai ke akar-akarnya tanpa menggantungkan pada bantuan justice collaborator," imbuh Fickar.

Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Agung mengabulkan uji materi terhadap sejumlah pasal dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Aturan ini mengatur perihal pengetatan pemberian remisi terhadap koruptor, teroris, dan pelaku tindak kejahatan narkotika.

Putusan tersebut diajukan oleh mantan kepala desa Subowo dan empat orang lainnya. Mereka adalah warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung. Majelis Hakim yang memutuskan diketuai hakim Supand dan beranggotakan hakim Yodi Martono Wahyunadi serta Is Sudaryono.

Dalam putusannya, hakim menimbang fungsi pemidanaan tidak lagi sekadar memenjarakan pelaku agar jera tapi juga usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model hukum yang memperbaiki atau restorative justice.

Alasan lainnya, hakim menimbang bahwa narapidana adalah subjek yang dapat melakukan kekhilafan namun tidak harus diberantas. Menurut mereka, yang harus diberantas adalah faktor yang penyebab narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum.