Bagikan:

JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) mencabut dan membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Pencabutan ini merupakan hasil putusan dari judicial review atau uji materi yang diketuk oleh Ketua Majelis Supandi yang beranggotakan Yodi Martono W dan Is Sudaryono. Sementara pihak yang mengajukan uji materil ini adalah Subowo dan kawan-kawan.

"Mereka merupakan mantan kepala desa dan warga binaan yang sedang menjalani pidana penjara di Lapas Klas IA Sukamiskin Bandung," demikian dikutip dari putusan MA pada Jumat, 29 Oktober.

Dalam putusan itu disebutkan ada sejumlah alasan majelis hakim mencabut peraturan tersebut. Pertama, mereka menyatakan fungsi pemidanaan tak lagi sekadar memenjarakan pelaku agar jera tapi sebagai usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model restorative justice.

Kedua, majelis hakim berpendapat napi bukan hanya objek tapi juga subjek yang melakukan kekhilafan yang dapat dikenai sanksi pidana.

"Sehingga mereka tidak harus diberantas tapi yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum," ungkap hakim.

Sehingga berkaca dari filosofi itu maka rumusan norma dalam aturan pelaksanaan UU Nomor 12 Tahun 1995 sebagai aturan teknis pelaksana harus memiliki semangat yang sebangun dengan filosofi pemasyarakatan yang memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice.

Maka berkaitan hal tersebut, MA berpendapat, hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali atau berlaku sama bagi semua warga binaan untuk mendapatkan hak-nya kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan

Di sisi lain, persyaratan untuk mendapatkan remisi tidak boleh bersifat membeda-bedakan dan justru dapat menggeser konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang ditetapkan serta harus mempertimbangkan dampak overcrowded di Lapas.

"Syarat-syarat tambahan di luar syarat pokok untuk dapat diberikan remisi kepada narapidana, seharusnya lebih tepat dikonstruksikan sebagai bentuk (reward) berupa pemberian hak remisi tambahan di luar hak hukum yang telah diberikan," bunyi putusan itu.

"Sebab segala fakta hukum yang terjadi di persidangan termasuk terdakwa yang tidak mau jujur mengakui perbuatannya serta keterlibatan pihak lain dijadikan bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan yang memberatkan hukuman pidana," tambah hakim.

Adapun kewenangan pemberian remisi menjadi otoritas penuh lembaga pemasyarakatan yang punya tugas memberi pembinaan terhadap narapidana dan tidak bisa diintervensi lembaga lain.

Pembatalan ini lantas ditanggapi oleh Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Kabag Humas dan Protokol Kemenkumham Rika Apriani mengatakan pihaknya siap mengikuti hasil uji materi itu.

"Perkembangan selanjutnya dengan yang tadi disampaikan Mahkamah Agung, ya, kita akan ikuti berdasarkan rules yang baru atau peraturan yang baru. Pasti kita ikuti," katanya.

Meski begitu, dia memastikan pemberian remisi bagi para narapidana khususnya dalam tindak kejahatan khusus seperti korupsi, terorisme, dan narkotika masih sesuai dengan PP 99 Tahun 2012.

"Hak-hak ini kan ada dasarnya, ada legal standingnya yang saat ini memang kasus korupsi itu dasar pemberian remisinya itu adalah PP 99 Tahun 2012," tegas Rika.

"Jadi semuanya memang pemberian hak itu berdasarkan peraturan. Kita lihat kelanjutannya ya apakah ada perubahan dari PP ini tapi yang pasti kami sampai saat ini masih memberikan remisi berdasarkan PP 99 Tahun 2012 untuk kasus korupsi," imbuh dia.

Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pemberian remisi bagi koruptor harus mempertimbangkan rasa keadilan bagi masyarakat. Apalagi, hukuman untuk maling uang rakyat itu harusnya bisa memberikan efek jera agar tidak terulang lagi.

"Kami berharap pemberian remisi bagi para pelaku extra ordinary crime, tetap mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat dan masukan dari aparat penegak hukumnya," ungkap Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri.

Selain itu, komisi antirasuah juga mengingatkan semua pihak harus berkomitmen untuk memberantas korupsi tanpa terkecuali sehingga praktik rasuah tak terus berulang.

"Keberhasilan pemberantasan korupsi butuh komitmen dan ikhtiar kita bersama, seluruh pemangku kepentingan. Baik pemerintah, para pembuat kebijakan, lembaga peradilan, aparat penegak hukum, dan seluruh elemen masyarakat," tegas Ali.

"Karena pada prinsipnya, pemberantasan korupsi adalah upaya yang saling terintegrasi antara penindakan-pencegahan-dan juga pendidikan," pungkasnya.