JAKARTA - Musala As Salam di Jalan Jenderal Sudirman KM 71 Desa Terawan, Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah, membetot perhatian publik. Ada banyak alasan mengapa musala di tempat terpencil ini gaungnya dibicarakan banyak orang.
Secara garis besar, musala ini punya desain unik dan menarik, serta berbahan limbah kayu ulin.
Kalau dilihat dari luar, musala yang adanya di sisi ruas jalan Trans Kalimantan Poros Selatan penghubung Sampit dan Pangkalan Bun, memang mirip bangunan-bangunan yang ada di Pulau Jawa dan Bali.
Hal itu terlihat dari gapura mengingatkan pada banyak bangunan di Pulau Jawa dan Bali, sementara itu atap musala bertingkat tiga mirip bangunan khas masjid kuno di Demak.
Namun, material musala ini didominasi kayu ulin. Pagar musala dibuat tidak tinggi sehingga bangunan utama terlihat tanpa hambatan dari luar.
Apalagi kalau dilihat dari dekat, terdapat ornamen khas Dayak, salah satunya berupa telabang atau telawang dengan ukiran khas Dayak yang dipasang di kiri dan kanan gapura yang kokoh. Telawang merupakan sejenis perisai yang digunakan untuk perlindungan diri masyarakat Dayak.
Bau ciri khas kayu diselingi wangi mirip kayu gaharu tercium ketika memasuki gerbang yang mirip lorong pada gapura. Dari sini pemandangan unik musala ini semakin terlihat dan terasa. Melihat dari dekat musala berkonstruksi kayu yang kokoh ini membuat jamaah diajak membayangkan suasana bangunan tradisional kerajaan-kerajaan di masa lalu.
Ukiran mushaf Al Quran dari akar kayu ulin berada di sisi kanan pintu masuk musala. Sementara pada dinding kiri dan kanan musala terdapat empat jendela berukuran cukup besar.
Pemandangan yang sangat menarik, musala yang diresmikan pada 7 Juli 2017 ini sekitar 90 persen konstruksi bangunannya terbuat dari kayu ulin. Kayu dengan nama latin "eusideroxylon zwageri" atau biasa disebut kayu besi ini adalah salah satu kayu yang terkenal dan terkuat di habitatnya hutan Kalimantan.
BACA JUGA:
Dan sebagian besar ulin yang digunakan untuk pembangunan musala tersebut ternyata limbah atau kayu ulin yang selama ini dinilai sudah tidak terpakai.
Basuki, yang merupakan donatur pembangunan Mushalla As Salam menceritakan, musala tersebut dibangun di atas lahan seluas 25x22 meter. Bangunan luar musala berukuran 11x11 meter, sedangkan bagian dalam berukuran 7x7 meter dengan daya tampung berkisar 40 sampai 50 orang anggota jamaah.
Pembangunan mushalla didesain menggabungkan ciri khas Jawa, Dayak dan Banjar. Basuki menyebutnya sebagai penggabungan kebhinnekaan, bahkan dalam pelaksanaannya dia juga banyak dibantu rekan-rekannya yang nonmuslim.
Pembangunannya menggunakan limbah kayu ulin yang sebagian ditemukan di kawasan-kawasan bekas hutan. Sebagian ditemukan dengan menggali karena terpendam dalam tanah.
Dinding musala menjadi salah satu bagian yang cukup unik dan menarik. Jika lazimnya dinding bangunan kayu menggunakan kepingan papan memanjang, dinding musala ini menggunakan potongan-potongan bulatan atau gelondongan kayu ulin yang disusun yang kemudian direkatkan menggunakan pasak kayu dan lem kayu.
Soal kekuatan dinding tidak perlu diragukan. Setiap keping bulatan batang ulin yang disusun menjadi dinding tersebut memiliki ketebalan masing-masing 10 cm. Total bulatan ulin yang digunakan sebanyak 897 keping.
"Pembangunannya memakan waktu sekitar tiga tahun. Ini juga masih ada beberapa bagian yang akan dilengkapi. Makanya kami mencari tukang yang tidak hanya hebat, tapi juga sabar," kata Basuki dilansir dari Antara.