Bagikan:

JAKARTA - Usulan menggunakan hak angket terkait polemik buronan cessie (hak tagih) Bank Bali Djoko Tjandra mengemuka di DPR RI. Tujuannya agar kasus ini bisa terungkap dengan cepat.

Menanggapi hal ini, peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menyebut sebaiknya DPR membuktikan usulan dengan tindakan nyata, bukan sekadar wacana yang akhirnya menguap.

"Saya kira, ini tentu bagus-bagus saja sebagai sebuah usul. Semoga, ini bukan sekedar gertakan sambal saja untuk makin menenggelamkan kasus ini," kata Lucius saat dihubungi VOI, Rabu, 29 Juli.

Kekhawatiran usul hak angket menjadi wacana belaka ini, kata Lucius, didasari dari sikap pimpinan DPR yang sebelumnya menolak permintaan Komisi III DPR RI untuk menggelar rapat dengar pendapat (RDP) kasus buronan Djoko Tjandra.

Alih-alih menyetujui pergelaran RDP, pimpinan DPR RI malah berencana menggelar rapat koordinasi dengan pimpinan Komisi III DPR untuk mencari solusi terkait langkah pengawasan yang akan dilakukan lembaganya tentang kasus buronan Djoko Tjandra.

"Kenapa enggak langsung koordinasi sejak Komisi III meminta RDP dengan penegak hukum pada awal reses kemarin? Setelah orang ribut-ribut, baru mau koordinasi. Respons yang nampak tidak terlihat positif dari pimpinan membuat saya ragu dengan usulan hak angket ini," jelas Lucius.

Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak DPR RI menggunakan hak angket dalam kasus Djoko Tjandra terhadap kepolisian, kejaksaan, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Dalam Negeri.

Menjawab hal itu, Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani, mengaku usulan tersebut telah dikemukakan di komisi hukum tersebut. Namun, Arsul tak mau menyebutkan fraksi partai mana yang mengajukan hak angkat itu. 

"Ada yang mengusulkan (hak angket), tapi belum pernah kami bicarakan secara mendalam. Bisa membentuk panitia khusus, bisa juga tidak. Tergantung bagaimana aparat bersinergi menuntaskan kasus Djoko Tjandra ini" kata Arsul.

Dalam pandangan Arsul, ada dua tindak pidana yang bisa dikenakan kepada Djoko Tjandra, pengacaranya, hingga pejabat Polri yang ikut membantu menyembunyikan Djoko saat berada di Indonesai Juni lalu.

"Kami melihat paling tidak ada dua tindak pidana yang terbuka untuk diimplikasikan baik kepada pejabat polri terkait maupun Djoko Tjandra dan pengacaranya, yakni memasukkan keterangan palsu pada dokumen resmi yakni paspor, e-KTP dan surat jalan serta menyembunyikan buronan," jelas Arsul.