Bagikan:

JAKARTA - Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra, menyoroti pro kontra nama tokoh Turki Mustafa Kemal Attaturk untuk nama jalan di Menteng, Jakarta.

Persoalan ini timbul sebagai akibat dari permintaan Pemerintah RI agar nama jalan di dekat KBRI Ankara diganti dengan nama Jalan Soekarno, sang proklamator RI.

Sebagai balasan ke Turki, nama jalan Kemal Attaturk diusulkan pada lokasi yang tidak jauh dari Kedutaan Turki di Jalan Rasuna Said, Jakarta. 

"Mustafa Kemal Pasya atau Kemal Attaturk adalah tokoh kontroversial. Bukan saja di Turki pada zamannya, tetapi juga di Indonesia dan banyak negeri Muslim yang lain," ujar Yusril dal keterangan yang diterima VOI, Kamis, 21 Oktober. 

Karena itu, ia menilai wajar apabila ada rasa ketidaksukaan sebagian masyarakat terhadap Kemal Attaturk. 

Lebih lanjut soal pro kontra nama jalan tokoh Turki-Indonesia, Yusril mengatakan, Pemerintah Indonesia yang lebih dulu meminta Pemerintah Turki mengganti nama sebuah jalan yang 'berbau' Belanda dengan nama Jalan Soekarno. Maka menurutnya, wajar saja jika secara resiprokal, Turki meminta hal yang sama. 

"Orang Turki nampaknya tidak mempersoalkan pergantian nama jalan dengan nama Jalan Soekarno. Tetapi di negeri kita, nama Jalan Attaturk yang diminta Pemerintah Turki itu membuat pusing banyak orang," terang Yusril. 

"Bahkan kini berkembang banyak rumors pemerintah akan memberi nama banyak jalan dengan nama tokoh-tokoh kiri dan Komunis. Jalan Stalin, Kruschev, Jalan Mao Zedong, Jalan Ho Chi Minh dan entah jalan siapa lagi tokoh-tokoh Komunis yang pernah ada di dunia ini," sambungnya. 

Disisi lain, Yusril justru mempertanyakan usul mengganti nama Jalan Kebon Sirih dengan Jalan Ali Sadikin yang sudah diusulkan DPRD DKI ke Gubernur, tapi belum juga dilaksanakan.

Begitupun usul tokoh-tokoh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) agar Jalan Kramat Raya diganti namanya dengan Jalan Mohammad Natsir, sampai sekarang nampaknya belum digubris oleh Gubernur Anies Baswedan.

"Di negara kita, urusan nama jalan adalah urusan Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat hanya dapat mengusulkan kepada Pemda untuk memberi nama atau mengubah nama jalan yang sudah ada," jelasnya. 

Oleh karena itu, Yusril menilai, Gubernur Anies Baswedan yang mendapat dukungan umat Islam melawan Basuki Tjajaha Purnama alias Ahok dalam Pilkada DKI mestinya tidak ada keberatan apapun dan tidak berlama-lama mengganti nama Jalan Kebon Sirih dengan Jalan Ali Sadikin. Juga, Jalan Kramat Raya dengan Jalan Mohammad Natsir.

"Dari pengalaman permintaan resiprokal Pemerintah Turki, entah apakah itu pemerintahan Presiden Erdogan, yang sepanjang pemahaman saya lebih cenderung ke Islam yang beda dengan sekularisme Attaturk ataukah hanya permintaan Kedubes Turki di Jakarta, saya tidak tahu," paparnya.

Ke depan, Yusril menyarankan, agar sebaiknya Pemerintah Indonesia tidak usah lagi meminta negara lain memberi nama jalan dengan tokoh-tokoh tanah air. Sebab, kata dia, jika mereka juga minta nama tokoh negaranya dijadikan nama jalan di Jakarta, bangsa Indonesia bisa pusing sendiri.

"Di masa lalu, kita pernah dengan inisiatif sendiri memberi nama jalan dengan tokoh negara lain. Ambil contoh Jalan Patrice Lumumba misalnya yang terletak antara Jalan Gunung Sahari dengan Bandara Kemayoran zaman dulu. Lumumba adalah pemimpin Republik Congo di Afrika. Dia dikudeta dan oleh lawan-lawannya dan dituduh Komunis," jelas Yusril.

Di zaman Orba yang anti Komunis, tambahnya, nama Jalan Patrice Lumumba diganti dengan Jalan Angkasa sampai sekarang. Nama Angkasa terkait dengan bandara, walau Bandara Kemayoran sudah sejak 1984 pindah ke Cengkareng. 

"Kita tidak merasa berat menggantinya karena nama Jalan Patrice Lumumba karena kita berikan sendiri, bukan atas permintaan Pemerintah Congo," katanya. 

"Saya kira memberi nama jalan dengan nama tokoh atau pahlawan memang akan selalu berhadapan dengan dilema," tutup Yusril Ihza Mahendra.