Bagikan:

JAKARTA - Kepala Badan Meteorologi Klimatologi,dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut suhu udara di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta semakin panas, lantaran tingginya laju alih fungsi lahan, selain emisi gas rumah kaca.

Dwikorita mengatakan temperatur rata-rata di Jateng dan DIY mengalami tren kenaikan selama 30 tahun terakhir, dan kenaikan tersebut tidak terjadi secara merata, namun wilayah daratan tengah mengalami kenaikan lebih tinggi daripada pesisir.

“Secara mikro di Kawasan Gunung Merapi, kenaikan suhu udara di sekitar wilayah Merapi ada tren kenaikan selama 30 tahun sebesar 0,7 derajat Celsius. Selain di kawasan Gunung Merapi, tren suhu di perkotaan dipantau dari stasiun menunjukkan tren kenaikan temperatur khusus Kota Yogyakarta dari tahun 2007, ternyata memang ada korelasi khusus antara penutup lahan dengan kenaikan suhu,” ujar Dwikorita dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, dilansir Antara, Senin, 11 Oktober.

Saat mengunjungi kawasan Bendungan Kali Gendol, Yogyakarta, Sabtu, 9 Oktober, Dwikorita mengatakan analisis tersebut diambil dari hasil pengumpulan data rata rata suhu udara selama 30 tahun sejak tahun 1990, dan saat ini BMKG tengah mengupayakan pengumpulan data lebih jauh ke belakang yaitu selama kurun waktu 50 tahun guna melihat signifikasi perubahannya.

Selain itu secara ekologis, kawasan lindung Gunung Merapi merupakan kawasan yang mempengaruhi kondisi terutama kualitas lingkungan secara luas di wilayah Yogyakarta serta Jawa Tengah. Artinya, kawasan lindung kawasan Gunung Merapi berperan besar dalam menjaga keseimbangan lingkungan di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah.

“Jika kawasan ini rusak maka akan mempengaruhi kemampuan kawasan di sekitarnya dalam hal adaptasi perubahan iklim,” ujar Dwikorita.

Menurut Dwikorita, tren peningkatan suhu udara seperti ini juga terjadi di kota-kota besar lainnya. Oleh karena itu, tren tersebut harus direspons semua pihak karena bisa membawa dampak pada keberlangsungan hidup manusia.

Khusus wilayah Yogyakarta, komponen ekologis di kawasan lindung Gunung Merapi harus menjadi perhatian serius, utamanya perubahan penutup lahan.

Ditegaskan Dwikorita, pemerintah daerah dan seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat harus melakukan upaya-upaya mitigasi sebagai bentuk tanggung jawab serta kepedulian terhadap kualitas lingkungan.

Sementara itu, Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Muh Aris Marfai mengatakan hasil analisis yang dilakukan BMKG dan BIG nantinya dapat digunakan oleh Kraton secara luas dalam pengelolaan kawasan Gunung Merapi dan kawasan Kagungan Dalem dan kebijakan pengelolaan Kawasan Kagungan Dalem.

Tindak lanjut lainnya, lanjut dia, adalah membangun komunikasi intensif dengan Provinsi Jawa Tengah termasuk dalam sharing data yang diperlukan dalam analisis perubahan penutup lahan pada kawasan Gunung Merapi.

Adapun Putri Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi penutup lahan di kawasan Merapi.

Situasi ini, kata dia, juga menjadi konsern utama dari Kraton Yogyakarta, baik di kaki Gunung Merapi atau di aliran sungai dan di sempadan sungai, yang saat ini kondisinya sangat memprihatinkan dan tertutupnya aliran air yang mengakibatkan hilangnya air.

GKR Mangkubumi menyebut Kawasan Gunung Merapi secara administrasi ada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan juga sebagian besar ada di Provinsi Jawa Tengah. Maka dari itu, Kraton akan melakukan komunikasi dengan Provinsi Jawa Tengah terkait situasi dan kondisi kekinian kawasan Gunung Merapi.

“Semoga ini juga menjadi konsern dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, karena kondisi di Klaten dan Magelang juga sudah memprihatinkan. Hasil ini tentunya akan menjadi support membangun kesepakatan kami dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah dan kami mempunyai pijakan dalam pengelolaan penataan di kawasan Gunung Merapi,” ujar dia.