Benar Tidaknya Air Laut Teluk Jakarta 'Rasa' Paracetamol, Tunggu 2 Pekan Lagi
FOTO VIA ANTARA

Bagikan:

JAKARTA - Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi DKI Jakarta masih menguji sampel air laut di Ancol dan Muara Angke, Jakarta Utara. Mereka ingin memastikan hasil riset kandungan paracetamol konsentrasi tinggi di kawasan tersebut.

"Kami berkomitmen untuk mendalami dan menelusuri sumber pencemarnya dan mengambil langkah untuk menghentikan pencemaran tersebut," kata Pelaksana Tugas Kepala DLH DKI Jakarta, Syaripudin di Jakarta, Minggu 3 Oktober.

Petugas DLH DKI Jakarta sudah mengambil sampel air laut pada Sabtu 2 Oktober kemarin untuk diuji dengan hasil yang dapat diketahui dalam waktu sekitar 14 hari.

Pemeriksaan, kata dia, untuk memastikan apakah pencemaran tersebut masih berlangsung sampai saat ini, karena pengambilan sampelnya pada riset tersebut dilakukan 2017-2018.

Dikutip dari Antara, Pihaknya berupaya mengindentifikasi sumber pencemarannya sehingga akan ada langkah yang diambil untuk menghentikan pencemaran tersebut.

DLH DKI Jakarta melakukan pemantauan kualitas air laut secara rutin minimal per enam bulan sekali.

Pemantauan dilakukan berdasarkan 38 parameter yang baku mutunya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Namun, lanjut dia, parameter kontaminan jenis paracetamol tidak diatur secara spesifik dalam PP itu.

Diketahui, hasil penelitian mengenai kandungan paraswtamol yang dilakukan tersebut diungkapkan jika di Angke memiliki konsentrasi tinggi akan kandungan Paracetamol, yakni 610 ng/L, dan Ancol sebesar 420 ng/L.

Dalam studi tesebut, hal ini adalah penelitian pertama yang menganalisis gambaran kualitas air laut berkaitan dengan kontaminasi parasetamol di perairan pesisir sekitar Indonesia. Namun, para ilmuwan menyebut studi gambaran awal ini masih membutuhkan analisis lebih lanjut.

"Mengingat pertimbangan obat-obatan sebagai kontaminan yang muncul, data ini menunjukkan penyelidikan lebih lanjut diperlukan," ungkap peneliti yang terdiri dari Wulan Koagouw, Zainal Arifin, George WJ Olivier, dan Corina Ciocan.