JAKARTA - World Bank (Bank Dunia) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini nol persen atau tidak mengalami pertumbuhan sama sekali dibanding tahun 2019. Diharapkan proses pemulihan akan dimulai secara bertahap meskipun basis proyeksi di tahun ini masih sangat lemah. Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meningkat pada 2021 menjadi 4,8 persen.
Lead Economist World Bank Indonesia Frederico Gill Sander mengatakan, Indonesia juga akan mengalami pertumbuhan ekonomi secara signifikan pada 2022 angkanya mencapai 6 persen.
Lebih lanjut, Frederico menjelasksn, defisit neraca berjalan (CAD) diperkirakan akan menurun pada tahun ini, tetapi seiring dengan pulihnya perekonomian, Bank Dunia memperkirakan CAD akan sedikit melebar lagi.
"PDB tahun ini diekspektasikan 0 persen. Jika pembatasan sosial (PSBB) berlanjut dan pertumbuhan ekonomi global juga terkontraksi lebih dalam, maka ekonomi indonesia bisa terkontraksi 2 persen tahun ini," tuturnya, dalam peluncuran Indonesia Economic Prospect, Kamis, 16 Juli.
Tanpa adanya dukungan masif dari pemerintah, Frederico mengatakan, pertumbuhan negatif akan berdampak signifikan terhadap kenaikan tingkat kemiskinan di Indonesia. Khususnya apabila bantuan sosial (bansos) tidak disalurkan dengan tepat sasaran. Karena itu, harus benar-benar diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Lebih lanjut, Frederico menilai, penargetan menjadi sangat penting dilakukan pemerintah Indonesia, terutama untuk mereka yang kehilangan pendapatan atau pekerjaan akibat pandemi.
"Kami sudah melihat bahwa semua masyarakat bisa mulai merasakan manfaat dari bansos ini. Selama sekitar empat hingga lima bulan, sudah hampir setengah dari masyarakat yang berada di garis kemiskinan mendapatkan bantuan dari pemerintah," jelasnya.
BACA JUGA:
Sebelumnya, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memprediksi akan terjadi kontraksi pertumbuhan ekonomi antara minus 4 persen hingga minus 6 persen di kuartal II 2020. Hal ini dikarenakan proses stimulasi penanganan COVID-19 masih sangat lambat.
Ketua Umum Kadin, Rosan Roeslani mengatakan, lambatnya penangangan COVID-19 dapat dilihat dari penyerapan di berbagai bidang. Misalnya di bidang kesehatan yang baru mencapai 1,54 persen, perlindungan sosial 28,63 persen, insentif usaha 6,8 persen, UMKM 0,06 persen, korporasi nol persen, dan sektoral 3,65 persen.
"Ini akan membuat tekanan terhadap pemulihan kesehatan, jejaring pengamanan sosial dan perekonomian menjadi lebih berat," katanya beberapa waktu lalu.
Rosan menilai, lemahnya implementasi stimulus tersebut akan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III kembali kontraksi di level pertumbuhan negatif. Sehingga secara teknikal Indonesia masuk dalam fase resesi ekonomi.