JAKARTA - Epidemiologi dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengingatkan masyarakat di Tanah Air terkait bahaya ancaman COVID-19 gelombang ketiga jika lengah atas penurunan kasus yang terjadi saat ini.
"Masyarakat dan pemerintah harus hati-hati dalam menanggapi penurunan kasus COVID-19 saat ini," kata dia melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, dilansir Antara, Kamis, 23 September.
Apalagi, sampai saat ini, vaksinasi yang telah dijalankan oleh pemerintah belum melebihi 50 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Untuk itu, kegiatan yang berpotensi menyebabkan peningkatan kasus harus betul-betul dihindari.
Masyarakat diminta tidak terlalu cepat merayakan penurunan kasus COVID-19 di Indonesia. Rencana untuk menggelar acara yang mengumpulkan banyak orang sebaiknya dihindari, mengingat Indonesia masih dalam bayang-bayang terjadinya gelombang ketiga lonjakan kasus COVID-19.
"Protokol kesehatan dalam satu kegiatan bukan barang ajaib atau jaminan. Protokol kesehatan akan berfungsi efektif ketika data-data atau indikator memang sudah kuat," ujar Dicky.
Indikator tersebut yakni testing, tracing dan treatment (3T). Jika hal tersebut telah diterapkan dengan baik, maka barulah protokol kesehatan itu kuat. Kalau masih sekadarnya, maka risiko lonjakan kasus akan terbuka lebar.
Ia mencontohkan terjadinya lonjakan kasus saat pembelajaran tatap muka (PTM) digelar. Hal tersebut menjadi salah satu bukti ancaman COVID-19 gelombang ketiga bisa saja terjadi di Tanah Air jika masyarakat abai. Kondisi itu akan semakin rumit lantaran sudah dibukanya tempat-tempat umum, misalnya, mal atau pusat perbelanjaan bagi masyarakat.
"Gelombang ketiga itu sangat bisa terjadi karena cakupan vaksinasi kita masih belum lebih dari setengah populasi yang lengkap," ucap dia.
BACA JUGA:
Hal tersebut bisa diperparah lagi dengan ancaman varian baru COVID-19 serta belum meratanya pelaksanaan "3T" di Indonesia, kata dia.
Terakhir, ia mengingatkan kondisi setiap daerah untuk menerapkan standar aman dari COVID-19 tidak bisa digeneralisasi atau disamakan. Terlebih lagi kemampuan dan kemauan setiap daerah untuk melakukan 3T berbeda-beda. Sehingga, pemerintah tetap harus membatasi kegiatan yang tidak perlu.
"Pelonggaran pembukaan aktivitas apa pun itu bukan tanda aman," kata dia menegaskan.