Bagikan:

JAKARTA - COVID-19 bukanlah pandemi pertama yang melanda Indonesia, bahkan dunia. Sebelum ini, ada wabah flu burung yang melanda sejak tahun 2005 sampai 2010. Meski gejala antara COVID-19 dan flu burung hampir serupa, ternyata kedua penyakit ini memiliki perbedaan.

Mantan Ketua Harian Komnas Flu Burung dan Penanggulangan Pandemi Influenza, Bayu Krisnamurthi mengatakan, penularan flu burung terjadi pada hewan unggas sejak 2003. Namun, pada 2005, penyakit ini bermutasi dan menular ke manusia.

Jika dalam menghadapi virus corona, pemerintah membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, pada wabah flu burung pemerintah membentuk Komisi Nasional Flu Burung.

"Dibentuklah Komnas, diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan saya sebagai ketua pelaksana harian. Kami sangat intens, baik presiden maupun para menteri memonitor perkembangan dari kasus ini," kata Bayu dalam diskusi di Graha BNPB, Jakarta Timur, Jumat, 10 Juli.

Berdasarkan data kasus, tingkat penularan antara flu burung dan COVID-19 juga berbeda. Pada kasus flu burung, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat sebanyak 861 orang di dunia terjangkit virus ini dalam kurun waktu 2005-2019. Pada periode yang sama, flu burung menjangkit 200 orang di Indonesia.

Sementara, untuk kasus COVID-19, sejak kemunculannya di Wuhan, China pada akhir tahun 2019 hingga 9 Juli, sudah menularkan 12.169.400 orang di dunia. Di Indonesia, orang yang terkonfirmasi positif mencapai 70.736 kasus dan angka masih akan terus bertambah karena pandemi belum dinyatakan selesai.

"Dari sisi angka, kalau dibandingkan dengan COVID-19, terus terang saja, saya mengatakan bahwa flu burung itu enggak ada apa-apanya," kata Bayu.

Tapi, kata dia, dampak virus flu burung lebih berbahaya dari COVID-19. Sebab, persentase angka kematian dari penderita flu burung cukup tinggi. 

Bila melihat data, angka kematian flu burung seluruh dunia lebih dari setengah jumlah penderita, yakni 455 orang meninggal dunia atau sekitar 60 persen. Sementara, angka kematian di Indonesia lebih tinggi yakni 168 orang atau 80 persen.

Sementara, pada kasus COVID-19 angka kematian di seluruh dunia saat ini mencapai 552.104 orang atau sekitar 4 persen dari total kasus. Di Indonesia, angka kematian mencapai 3.417 kasus atau sekitar 4,8 persen.

"Yang mengerikan dari flu burung adalah case fatality rate-nya. Kalau ada orang Indonesia yang terkena flu burung, 80 persen peluangnya meninggal dunia," ungkapnya. 

Lebih lanjut, Budi mengungkap strategi yang dilakukan Komnas Flu Burung untuk menangani wabah tersebut. Pertama, pemerintah melibatkan seluruh saintis dan ilmuwan yang ada untuk mencari cara pencegahan dan penuembuhan flu burung.

"Jadi, kita betul-betul mencari the best brain yang ada di Indonesia maupun di dunia untuk menanganai itu. Alhamdulillah, jejaring flu burung itu sama dengan yang sekarang menangan COVID-19, seperti Eijkman, Airlangga, UGM, dan UI," jelas Budi.

"Kapasitas pengembangan sains yang waktu itu kita lakukan ternyata bekerja dengan baik dan kemudian membawa pengetahuan akumulatif seperti sekarang," tambah dia. 

Kemudian, ada sosialisasi yang masif kepada masyarakat tentang bahaya flu burung. Bahkan, pemerintah menunjuk Duta Tanggap Flu Burung pada Tahun 2007 yakni Muhamad Farhan.

"Kita butuh intensif sekali menjangkau masyarakat dengan komunikasi yang tidak putus-putus dan komunikasi yang kreatif, komunikasi yang membuat mereka bukan hanya takut, tapi juga kita siaga kita siap untuk menangani ini," pungkasnya.