Bagikan:

JAKARTA - Peneliti mikrobiologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sugiyono Saputra, mengamini pernyataan Organisasi Kesahatan Dunia (WHO) yang menyebut penularan COVID-19 bisa terjadi melalui udara.

Alasannya, orang yang terjangkit akan mengeluarkan dua partikel yakni, droplate dan aerosol, ketika bersin atau batuk. Sehingga, aerosol yang berukuran lebih kecil atau di bawah lima mikrometer ini akan melayang di udara. Sedangkan, untuk droplate yang ukurannya lebih besar akan langsung jatuh atau menempel pada benda.

"Kemungkinan memang bisa. Aerosol ukurannya lebih kecil dan karena itu biasanya akan mengambang di udara," kata Sugiyono kepada VOI, Kamis, 9 Juli.

Bahkan, berdasarkan penelitian, lanjut Sugiyono, daya tahan aerosol terbilang cukup lama. Virus bisa bertahan selama beberapa jam di udara tetapi jika dibandingan dengan droplate, daya tahan aerosol masih jauh di bawahnya.

"Aerosol relatif lebih kering sehingga virus biasanya tidak bertahan lebih lama dibandingkan droplet. Dalam bentuk aerosol, sarscov2 dapat bertahan hingga 3 jam," ungkap Sugiyono.

Namun, Sugiyono menyebut, potensi penyebaran airbone terbilang rendah untuk ruangan terbuka. Sebab, dengan ukuran partikel yang kecil, maka, aerosol akan terbawa angin atau setidaknya tak mudah terhirup manusia.

Justru, resiko yang besar terjadi ketika aerosol berada di ruangan tertutup. Alasanya, minimnya sirkulasi udara sehingga aerosol kemungkinan besar akan tetap berada di ruangan tersebut.

"Resikonya jauh lebih besar ketika dalam ruangan tertutup yang banyak orang, yang airflownya tidak bagus ya," tegas Sugiyono.

Untuk itu, ketika berada di ruang tertutup dengan kondisi banyak orang disarankan menggunakan masker yang bisa menahan aerosol, masker N95 misalnya.

"Untuk di healthcare setting, biasanya memang memakai masker N95 atau yang levelnya lebih tinggi," pungkas Sugiyono.