Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron memberikan respon terhadap dua putusan uji materiil dua orang pegawai KPK yang tidak lolos TWK Yudi Purnomo dan Farid Andhika juga mengajukan uji materiil ke MA.

9 September 2021, majelis hakim uji materiil MA yang terdiri dari Supandi (Ketua Muda MA urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara) selaku ketua majelis dengan didampingi Yodi Martono Wahyunadi dan Is Sudaryono selaku anggota majelis menolak permohonan tersebut.

"Menolak permohonan keberatan hak uji materiil pemohon I Yudi Purnomo dan pemohon II Farid Andhika. Menghukum pemohon I dan pemohon II untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1 juta," demikian termuat dalam putusan No 26 P/HUM/2021 dalam laman MA.

Menurut Nurul Gufron, pelaksanaan TWK bukanlah perbuatan maladministrasi. "Putusan ini menepis tuduhan bahwa Perkom 1/2021 yang di dalamnya mengatur TWK dilakukan secara malaadministrasi termasuk tuduhan melanggar HAM pegawai KPK," kata Ghufron pada Jumat, 10 September, dikutip dari ANTARA.

Menurut Nurul Ghufron, dengan putusan MK dan MA yang sudah final dan mengikat tersebut, pimpinan KPK berharap mengakhiri perdebatan mengenai TWK KPK.

"Kami mengajak semua pihak secara dewasa menerima putusan ini dan berdasarkan putusan MK dan MA tersebut, kami akan melanjutkan proses peralihan status pegawai KPK ini berdasarkan Perkom 1/2021 dan peraturan perundangan lain baik di internal KPK maupun tentang manajemen ASN," ungkap Ghufron.

Sedangkan Yudi Purnomo selaku penggugat di MA mengatakan putusan hakim MA secara tegas dan jelas menyatakan bahwa tindak lanjut hasil asesmen TWK merupakan kewenangan pemerintah bukan KPK.

"Oleh karena itu kami menunggu kebijakan dari Presiden Jokowi terhadap hasil asesmen TWK pegawai KPK yang saat ini belum diangkat sebagai ASN sesuai dengan perintah Undang-Undang KPK mengenai alih status Pegawai KPK menjadi ASN," tambah Yudi.

Selain itu, sejumlah pakar hukum dari Themis Indonesia Law Firm & Dewi Keadilan yang teridir dari Feri Amsari, Bivitri Susanti, Usman Hamid, Titi Anggraini, Nanang Farid Syam, Fadli Ramadhanil dan Ibnu Syamsu mengatakan kewenangan yang konstitusional tidak menjadi pembenar atas implementasi dari kewenangan tersebut yang dilakukan secara cacat prosedural dan melanggar HAM.

"Mahkamah tidak memutus apapun terkait prosedur yang cacat dalam pelaksanaan TWK oleh KPK, Badan Kepegawaian Negara atau pihak-pihak lain terlibat menyimpangkan kewenangan dalam pelaksanaan TWK. Sehingga putusan MK sama sekali tidak mengenyampingkan temuan Ombudsman RI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia," kata para peneliti Themis dalam keterangan tertulis pada 7 September 2021.

Meskipun TWK konstitusional namun tidak dapat proses pelaksanaanya tidak menjunjung nilai-nilai konstitusi (UUD 1945) terkait perlindungan HAM dan ketentuan undang-undang lainnya, termasuk UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Mereka pun meminta pimpinan KPK mengakui kealpaan dalam proses penyelenggaraan TWK yang tidak sesuai dengan nilai-nilai UUD 1945, UU Administrasi Pemerintahan, UU HAM dan nilai-nilai tentang kejujuran, transparansi dan menjunjung kemanusian.

"Melaksanakan TWK ulang yang transparan dan/atau melakukan proses alihstatus sebagaimana pernah diberlakukan terhadap anggota TNI dan kepolisian tanpa perlu melakukan TWK dengan meminta Presiden Joko Widodo menyelesaikan berdasarkan ketentuan PP No 17 Tahun 2020 tentang Manajemen PNS yang membuat Presiden berwenang melantik langsung pegawai KPK menjadi PNS," demikian disampaikan para peneliti.

Akhirnya akankah TWK tetap layak menjadi mekanisme konstitusional alih status pegawai KPK meski konsekuensinya ada 57 pegawai KPK yang saat ini non-aktif akan diberhentikan pada 1 November 2021?