Menkum HAM Yasonna Ungkap Alasan RI Sepakati Perjanjian Timbal Balik Hukum Pidana dengan Rusia
DOKUMENTASI ANTARA/Menkum HAM Yasonna Laoly

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Yasonna H Laoly mengungkap alasan pembuatan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik RI dan Federasi Rusia dalam Masalah Pidana/Mutual Legal Assistance (MLA) in Criminal Matters.

“Sebagaimana diketahui RUU telah disampaikan Presiden melalui Ketua DPR tanggal 8 Juni 2021 dan di dalam surat tersebut presiden menugaskan Menlu dan Menkumham baik sendiri-sendiri atau bersama-sama untuk mewakili presiden melakukan pembahasan RUU ini,” ujar Yasonna dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR, Jakarta, Rabu, 1 September.

Yasonna melanjutkan, dalam rangka mewujudkan tujuan negara di alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, Indonesia memiliki komitmen yang kukuh untuk melaksanakan penegakan hukum terhadap kejahatan lintas negara melalui perjanjian internasional. 

Seiring dengan meningkatnya hubungan antar negara seperti investasi, perdagangan, kerja sama di bidang perbankan dan didukung teknologi informasi yang berkembang pesat dan canggih.

“Kerja sama di bidang hukum diharapkan akan dapat memberikan kepastian hukum dan meningkatkan perlindungan antara investor dan pelaku usaha asing di Indonesia maupun pelaku usaha di luar negeri,” jelas Yasonna.

Di samping itu, kata dia, juga untuk menanggulangi berbagai kejahatan termasuk lintas negara yang cenderung meningkat seiringdengan meningkatnya interaksi antar masyarakat. Pasalnya, jelas Yasonna, para pelaku kejahatan seringkali memanfaatkan celah perbedaan hukum dan sistem antara negara dan keterbatasan yuridiksi untuk pelaku tindak pidana.

“Kerja sama hukum yang dimaksud dalam hal ini melalui mekanisme bantuan hukum timbal balik dalam hukum pidana akan menjadi instrumen yang mampu menjawab keterbatasan yuridiksi dan perbedaan sistem hukum,” jelasnya.

Politikus PDIP itu mengatakan, pemerintah memandang penting pembentukan perjanjian bilateral antara RI dan Federasi Rusia untuk mendukung kemitraan strategis antara kedua negara sejak 1950.

Sebagai anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB, sebut Yasonna, Federasi Rusia pada saat itu masih tergabung dalam Uni Soviet seringkali mengangkat masalah Indonesia dan menuntut PBB untuk menghentikan agresi militer Belanda juga mengimbau dunia internasional untuk mengakui Indonesia sebagai negara merdeka.

Federasi Rusia juga mendukung RI dalam merebut kembali Irian Barat dan memiliki peran strategis mengingat posisinya sebagai negara G20 dan memiliki pengaruh di Geo Politik dan Geo Ekonomi yang penting di kawasan Eropa Timur. Bagi Indonesia, Federasi Rusia adalah mitra dagang terbesar di Eropa Timur.

“Pada 2020, nilai ekspor Indonesia mencapai USD 1,93 miliar dengan tren peningkatan perdagangan selama 5 tahun terakhir sebesar rata-rata 7,78 persen per tahun,” imbuhnya.

Selain itu, Yasonna menambahkan, Indonesia menjadi salah satu tujuan investasi Rusia, seperti investasi kilang minyak USD 16 miliar di Tuban.

Yasonna menilai, perjanjian hukum timbal balik tentang masalah pidana dengan negara-negara strategis akan mendukung upaya pemerintah untuk menjadi anggota Financial Action Tax Force (FATF) yang merupakan organisasi dunia untuk menerapkan standar pelaksanaan yang efektif dalam upaya tindak pidana pencucian uang, pendanaan teorisme dan ancaman lainnya terkait integritas sistem keuangan internasional.

“Keanggotaan Indonesia dalam FATF akan meningkatkan persepsi positif Indonesia dalam hal ini menjadi tujuan bisnis dan investasi diharapkan dapat memberikan kontribusi penting dalam memberikan kemudahan berusaha yang pada saat ini Indonesia masih berada pada tingkat ke-73 dan diharapkan ada pada peringkat di bawah 40,” ujar Yasonna.