Palsukan <i>Rapid Test</i>, PNS dan Perawat di Sumut Bisa Dijerat Pasal Berlapis
Ilustrasi (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Surat hasil rapid test menjadi syarat mutlak ketika akan berpergian ke luar kota dengan menggunakan moda transportasi umum. Namun, hal itu justru dimanfaatkan pihak tertentu dengan cara memalsukannya untuk meraup keuntungan besar.

Mereka adalah dua orang dari Sumatra Utara MAP (30) dan EWT (49). Keduanya melakukan pemalsuan ini sudah dan berulang. Pada Jumat 26 Juni, keduanya berhasil ditangkap.

Kasus ini terungkap bemula ketika adanya temuan di pos pemeriksaan, tepatnya di dermaga penyeberangan Sibolga. Berdasarkan temuan itu, polisi bergerak dan menyelidikinya.

Kasubbag Humas Polres Sibolga, Iptu R Sormin mengatakan, dari hasil penyelidikan didapat informasi soal asal surat keterangan hasil rapid test palsu itu. Sehingga, pihaknya langsung menindak atau menangkap para pelaku di tempat bereda.

"Pelaku dengan inisial MAP ditangkap di Tapanuli Tengah dan pelaku atas inisial EWT di Sibolga," ucap Sormin, Minggu, 28 Juni.

Dari pemeriksaan, EWT merupakan pegawai di rumah sakit umum (RSU) Pandan yang tercatat sebagai PNS. Sedangkan, MAP salah seorang perawat di klinik. 

Dalam memalsukan surat, mereka selalu melakukan di tempat kerja MAP yakni di klinik Yakin Sehat, Kecamatan Sarudik, Tapanuli Tengah.

Dari penangkapan itu, sejumlah barang bukti yang diduga berkaitan dengan aksi pemalsuan surat hasil rapit tes lansung diamankan.

"Barang bukti yang diamankan 52 rangkap fotokopi hasil laboratorium Patologi klinik, 24 rangkap surat hasil laboratorium Patologi klinik, 43 buah alat suntik bekas, 1 lembar kertas kuning pemeriksaan laboratorium, 1 buah alat rapid test bekas, 2 buah alat suntik baru, 1 pasang sarung tangan karet," kata Sormin.

Adanya kesempatan

Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Al Azhar, Suparji Ahmad menyebut, munculnya perkara pemalsuan surat keterangan hasil rapid test dikarenakan adanya kesempatan. Sebab, dalam pengurusan surat itu secara benar, memakan waktu yang lama dan proses yang cukup panjang.

Sehingga, masyarakat pun mencari-cari langkah praktis untuk membuat surat tersebut. Dengan begitu, muncul niat atau aksi yang melanggar hukum seperti tindakan kedua pelaku.

"Ada keinginan dari masyarakat untuk lebih mudah. Kemudian dari situ muncul orang-orang yang memanfaatkannya," ucap Suparji.

Selain itu, sulit terungkapnya aksi pemalsuan itu, kata Suparji, dikarenakan faktor saling menguntungkan. Sehingga, pelaku maupun pengguna atau masyarakat tidak akan membuka atau menyebarkan informasi itu kepada sembarang orang.

Alasannya, pengguna jasa atau masyarakat nantinya akan kesulitan mencari oknum-oknum lain yang bisa memalsukan surat tersebut. Sebab, surat itu menjadi sangat penting di masa pandemi COVID-19 saat ini.

"Karena semua saling diuntungkan, maka, akan sulit diketahui orang lain. Atau bahkan memang hanya orang-orang tertentu yang mengetahui (pemalsuan, red)," kata Suparji.

Terlepas soal faktor yang menepengaruhi munculnya aksi pemalsuan, kata Suparji, tindakan kedua pelaku bisa dijeret dengan Pasal belapis, yakni, hukum pidana dan undang-undang kesehatan.

"Bisa dijerat dengan Pasal 263 KUHP dan Undang-undang nomor 36 tahun 2009," tegas Suparji.