Bagikan:

JAKARTA - Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar memastikan pemeriksaan dua oknum TNI yang diduga melakukan penganiayaan terhadap seorang anak berusia 13 tahun di Nusa Tenggara Timur (NTT) melalui peradilan umum.

"Kapolri dan Kapolda NTT diminta untuk memastikan pemeriksaan secara pidana di peradilan umum yang transparan dan akuntabel," kata Ketua PBHI Totok Yuliyanto melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Antara, Rabu, 25 Agustus. 

Selain Kapolri, PBHI juga meminta Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengevaluasi Komandan Koramil 1627/03 Batatua dan Komandan Kodim 1627 Rote Ndao. Kedua pelaku harus dipastikan di nonaktifkan.

Tidak hanya itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga harus memberikan perlindungan serta pemulihan kepada korban.

"Baik itu fisik maupun psikologis korban dan menjamin keselamatannya selama pemeriksaan terhadap pelaku," ujar Totok.

PBHI juga mendesak Presiden Joko Widodo dan DPR RI untuk membentuk kebijakan setingkat undang-undang tentang anti penyiksaan serta meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan (OPCAT).

"Termasuk pula merevisi Undang-Undang Peradilan Militer Nomor 31 Tahun 1997 sebagai bagian dari reformasi militer di Tanah Air," ujarnya.

Sebelumnya, dua oknum TNI, Serma MSB dan Serka AODK, yang bertugas di wilayah Kodim 1627 Rote Ndao, NTT diduga melakukan penyiksaan terhadap PS anak berusia 13 tahun.

Kejadian diketahui berawal dari dua prajurit TNI tersebut menuduh PS mencuri telepon genggam. Diduga kuat dua oknum TNI itu menyudut tangan korban dengan rokok yang masih menyala.

Selain itu, korban juga dipukul dengan benda tumpul seperti bambu, sapu, dan kepalan tangan hingga menyebabkan korban mengalami luka bibir pecah, wajah memar, punggung lecet, dan trauma psikologis yang mendalam.