'Bau Amis' Dugaan Korupsi Tercium, Program Kartu Prakerja Harus Dihentikan
Ilustrasi pelatihan daring (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Polemik program Kartu Prakerja terus berlanjut setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan kajiannya. Sejumlah pihak menilai, program ini sebaiknya tidak perlu diperbaiki, melainkan dihentikan. Apalagi, 'bau amis' skandal korupsi terendus di dalam program tersebut.

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengatakan, program Kartu Prakerja yang menjadi salah satu bantuan jaring pengaman sosial di tengah pandemi COVID-19 ini perlu segera dihentikan. 

"Kita harus stop program ini karena memang by desain strukturnya salah, tujuannya salah, niatnya salah. Oleh karena itu, lebih baik kita stop program ini," kata Adnan diskusi yang bertajuk 'Akankah Temuan KPK Berujung Pada Mega Skandal 5,6 Triliun Kartu Prakerja?' di akun YouTube Prakerja.org, Kamis, 26 Juni.

Dia mengatakan, daripada mengeluarkan uang anggaran untuk program seperti Kartu Prakerja, sebaiknya anggaran tersebut diubah menjadi bantuan langsung tunai (BLT) murni.

Sebab, uang segar dianggap lebih dibutuhkan dan lebih bisa membangun ketahanan sosial di tengah kondisi krisis seperti saat ini daripada memberikan program yang tak bisa langsung dirasakan masyarakat.

Dirinya mengatakan, jika program Kartu Prakerja ini jalan terus, sebaiknya KPK segera masuk ke dalam langkah penindakan.

"Karena bau amisnya sudah cukup jelas dan tidak ada pilihan bagi KPK untuk tidak melakukan upaya hukum," tegasnya.

Adnan menilai, jika tak ada proses penindakan apapun dari KPK yang telah melakukan kajian dan menemukan penyimpangan, bukan tak mungkin proyek-proyek semacam ini akan kembali bermunculan.

"Kalau Kartu Prakerja lolos sebagai kebijakan, bisa jadi mangsa baru bermunculan dan ini bisa memakan anggaran yang sebenarnya dialokasikan untuk mengatasi dampak pandemi," tegasnya.

Inisiator Prakerja.org, Andri Kusuma angkat bicara soal kajian KPK. Untuk diketahui, Prakerja.org adalah sebuah platform yang menyediakan pelatihan tenaga kerja sama seperti Kartu Prakerja program pemerintah.

Hanya saja, Prakerja.org tidak memungut bayaran apapun bagi masyarakat yang ingin menambah kemampuan mereka. Platform ini dibuat secara swasembada karena mereka mengkritik program jaring pengaman sosial itu.

Kembali ke Andri, dirinya mengatakan Prakerja.org mengapresiasi kajian KPK soal Kartu Prakerja milik pemerintah. Hanya saja dia berharap kajian KPK tersebut bisa dilanjutkan ke tahap penindakan. Sebab, dia menilai ada sejumlah tindak pidana di dalam program terjadi.

"Mens rea-nya juga terang benderang, di mana KPK menyatakan dalam kajiannya, konflik kepentingan antar platform digital dan lembaga pelatihan dan lima platform digital pemegang peran pelatihan dan kurasi mengiklankan pelatihan dalam perusahaan yang sama," tegasnya.

Insiator Prakerja.org lainnya, Largo Andrianto juga angkat bicara. Kata dia, anggaran sebesar Rp5,6 triliun untuk program Kartu Prakerja begitu berlebihan.

Menurut pria yang berkecimpung teknologi informasi ini, anggaran tersebut berlebihan karena pemerintah tidak memiliki konten pelatihannya tapi hanya menyewa konten dari platform yang menjadi mitra pemerintah.

"Saya tuh agak kaget, itu kan gede sekali anggarannya. Terus produknya apa. Bukan beli konten, ini malah kasih voucher untuk sewa konten," ungkap Largo.

Dia menilai, daripada menyiapkan anggaran sebesar Rp5,6 triliun, pemerintah sebenarnya cukup menyiapkan uang sebesar Rp50 miliar untuk membeli konten dari lembaga pelatihan yang sudah punya pengalaman.

"Bayangkan, pemerintah menyiapkan Rp50 miliar saja sudah mewah untuk beli konten yang dibeli secara full dan distribusikan gratis ke masyarakat banya. Kan jauh lebih efektif. Tidak perlu sampai 100 kalinya. Cukup Rp50 miliar sudah mewah. Pasti banyak yang mau bikinin konten. Disebarin," kata dia.

Sebelumnya, KPK telah memberikan tujuh poin rekomendasi kepada pemerintah terkait pelaksanaan program Kartu Prakerja. Rekomendasi ini diberikan, setelah lembaga antirasuah ini melakukan kajian dan menemukan sejumlah permasalahan.

Tujuh poin rekomendasi

Pertama, KPK merekomendasikan agar peserta yang disasar tidak perlu mendaftar secara daring untuk menjadi peserta program tapi dihubungi oleh manajemen pelaksana. Alasannya, dalam kajiannya, lembaga antirasuah ini hanya menemukan sedikit pekerja terdampak pandemi COVID-19 yang mendaftarkan diri ke dalam program ini.

Kedua, KPK mengusulkan fitur face recognation atau pengenal wajah tidak digunakan tapi cukup menggunakan NIK.

Ketiga, KPK mendorong pemerintah meminta legal opinion kepada Kejaksaan Agung tentang kerjasama delapan platfotm digital dalam program Kartua Prakerja apakah masuk dalam Penyediaan Barang dan Jasa Pemerintah atau bukan.

Keempat, KPK menegaskan platform digital tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan lembaga penyedia pelatihan.

Kelima, kurasi materi pelatihan dan kelayakan secara daring sebaiknya melibatkan pihak yang kompeten dalam area pelatihan dan dituangkan dalam bentuk petunjuk teknis.

Keenam, materi pelatihan yang teridentifikasi sebagai pelatihan yang gratis melalui jejaring internet harus dikeluarkan dari daftar pelatihan yang disediakan. Hasil kajian KPK menunjukkan, dari 327 sampel pelatihan yang disediakan sebanyak 89 persen telah tersedia secara gratis di internet.

Terakhir, KPK meminta pelaksanaan pelatihan daring harus memiliki mekanisme kontrol agar tidak fiktif.