Beberapa Poin Minus Kartu Prakerja Versi Indef
Ilustrasi. (Angga Nugraha/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Program Kartu Prakerja yang saat ini dirancang sebagai semi bantuan sosial (Bansos) terus mendapat kritik dari masyarakat. Hasil survei yang dilakukan Institute for Development Economics and Finance (Indef) program ini lebih banyak mendapat sentimen negatif daru masyarakat. Salah satunya, karena di kondisi krisis pandemi COVID-19 ini, korban PHK lebih butuh bantuan tunai ketimbang pelatihan online.

Direktur Program Indef, Esther Sri Astuti mengatakan, program Kartu Prakerja ini memang awalnya bukan dirancang untuk kondisi pandemi. Namun, seharusnya dalam kondisi saat ini pemerintah dapat menyesuaikan dengan kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat.

Lebih lanjut, Esther menjelaskan, ada beberapa kekurangan dalam program Kartu Prakerja. Pertama, metode pelatihan. Di masa pandemi ini pelatihan yang harusnya online dan offline menjadi sepenuhnya online, dengan melibatkan delapan platform digital.

Esther mengatakan, permasalahan yang muncul adalah jaringan internet di Indonesia belum merata. Sehingga masyarakat yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan tinggal di pelosok negeri memiliki peluang yang sangat minim mendapatkan manfaat dari program tersebut.

"Kemungkinan terkendala jaringan internet. Kurang interaksi antara instruktur dan peserta akan mengurangi efektivitas pelatihan. Sama kalau saya ngasih kuliah online, itu rasanya beda dengan ketemu langsung. Saya merasa seperti bicara sama tembok," tuturnya, dalam video conference bersama wartawan, Selasa, 8 Mei.

Masyarakat Berpendidikan Rendah Tak Tersentuh

Jika melihat dari struktur tenaga kerja yang ada di Indonesia, sebanyak 199,38 juta penduduk berada dalam usia kerja dan 6,88 juta orang merupakan pengangguran. Sementara sisanya yang bekerja dan bukan angkatan kerja.

Esther mengatakan, dari strktur lapangan kerja utama tersebut, ternyata banyak yang berkerja di sektor pertanian, perdagangan, pengolahan, dan akomodasi. Sementara itu, penduduk yang bekerja hanya 13,02 persen yang berpendikan tinggi. Sementara 50,96 juta atau 38,89 persen adalah lulusan sekolah dasar (SD). Kemudian, 87 persen pekerja lulusan SMP-SMK/SMA.

"Pertanyaannya adalah bagaimana Kartu Prakerja bisa menggapai penduduk yang berpendidikan rendah? Sementara kalau kita lihat pelatihan saat ini, memang masih dilakukan secara online, tentunya mereka tidak semua melek teknologi," katanya.

Menurut Esther, dari data tingkat pengangguran ternyata pengangguran terbuka perempuan lebih rendah daripada laki-laki dan mereka kebanyakan berasal dari pendidikan SD-SMA/SMK karena memang teori menyatakan bahwa pendidikan itu berbanding lurus dengan kesempatan mencari pekerjaan.

Materi Pelatihan Tidak Sesuai dengan Kebutuhan Di Lapangan

Esther mengatakan, materi pelatihan Kartu Prakerja tidak jauh berbeda dengan konten gratis di platform YouTube. Padahal anggaran yang dikeluarkan dari APBN tak sedikit untuk memfasilitasi pelatihan ini.

"Materi pelatihan kok sifatnya hanya memberi pelatihan membuat siomai, kok hanya pelatihan membuat kroket. Nah kalau kami melihat apakah tidak sebaiknya materi pelatihan ini bisa di link and match dengan perusahaan-perusahaan sehingga kurikulumnya didesain bersama," tuturnya.

Menurut Esther, jika materi pelatihan yang diberikan didiskusikan dengan perusahaan maka dapat diketahui kebutuhan di pasar tenaga kerja seperti apa. Sehingga pelatihan bakal lebih efektif. Hal itu memberikan dua manfaat, yakni materi yang disajikan tidak sembarangan dan setelah lulus pun peserta dipastikan mendapat pekerjaan.

"Jadi peserta bisa ter-link dengan perusahaan yang pengen menampungnya. Dengan seperti itu, maka sudah pasti peserta yang sudah lulus mendapat sertifikat itu langsung bisa bekerja, karena tadi sudah ada kebutuhan pasar. Oleh karena itu, perlu melihat peta industri mana yang membutuhkan tenaga kerja," ucapnya.

Selain itu, kata Esther, seharusnya program Kartu Prakerja ini melihat peta industri sebagai acuan pemberian materi pelatihan. Seperti, daerah mana dan industri apa saja yang memang membutuhkan banyak tenaga kerja.

"Misalnya kalau kita lihat peta industri Kementerian Perindustrian 2020, itu industri sarung tangan, hand sanitizer, etanol adalah salah satu industri yang membutuhkan tenaga kerja," tuturnya.

Biaya Pelatihan Terlalu Mahal

Menurut Esther, anggaran pelatihan daring juga tak lepas dari sorotan. Dari Rp20 triliun anggaran Kartu Prakerja, Rp5,6 triliun dialihkan untuk pelatihan daring. Namun, peserta yang telah menyelesaikan pelatihan tidak mendapat jaminan akan diterima kerja.

"Isu lainnya adalah anggaran pelatihan. Anggaran pelatihan ini apakah sebaiknya ada standarisasi biaya pelatihan yang disertai dengan materi pelatihan," tuturnya.

Menurut Esther, peserta yang sudah lulus dan mendapat sertifikat Kartu Prakerja ini juga belum mendapat kepastian bisa ditampung perusahaan. Sebenarnya, di Indonesia itu sudah ada contoh yang bisa dilihat mengenai pelatihan untuk tenaga kerja yakni Apple Akademi yang ada di Bintaro dengan sekarang buka di Surabaya dan Batam.

Lebih lanjut, menurut Esther, perusahaan Apple ini membuka kesempatan seluas-luasnya untuk para calon peserta tetapi dengan syarat dan seleksi yang ketat, dengan jumlah sekitar 1000 orang per tahun. Setelah diterima dalam satu tahun, peserta harus mengikuti pelatihan dan diminta membuat satu aplikasi yang bisa dipasang di Apple Store. Namun, perusahaan tidak mewajibkan setelah lulus harus bekerja di Apple, tetapi peserta dibebaskan untuk memilih.

"Bentuk-bentuk seperti itu yang mungkin di-cloning oleh pemerintah untuk mengurangi pengangguran. Sekaligus materinya sudah pasti link and match antara pencari kerja dan perusahaan yang menyediakan pekerjaan," jelasnya.

Program Pelatihan Tidak Efektif

Menurut Esther, skema Kartu Prakerja yang disebut sebagai semi bansos juga bermasalah. Skema Kartu Prakerja yang perlu selesaikan training dulu baru bisa dapat bansos Rp600 ribu per bulan, maka ada godaan besar bagi peserta untuk memilih ikut training yang paling pendek dan mudah asalkan memperoleh bansos.

"Kalau bentuknya semi bansos apakah tidak akan menimbulkan moral hazard, bahwa mislanya saya calon peserta karena ingin mendapat bantuan Rp600 ribu per bulan jadi ya ikut saja," katanya.

Esther mengatakan, Kartu Prakerja ini memang memiliki banyak tantangan selain harus mengatasi korban yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), juga harus bisa memberikan materi yang efektif dan dibutuhkan oleh masyarakat.