Kentalnya Kepentingan Pengusaha Properti dalam Kelahiran PP Tapera di Tengah Pandemi
Ilustrasi foto (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Program tabungan perumahan rakyat (Tapera) menuai banyak kritik dan penolakan dari berbagai pihak. Hal ini karena dianggap mempersulit masyarakat di tengah kondisi krisis ekonomi akibat pagebluk COVID-19 dan ketidakpastian kapan ekonomi kembali normal.

Hadirnya Peraturan pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat juga memunculkan kecurigaan publik bahwa Tapera hadir untuk menutup defisit APBN yang kian melebar karena pagebluk COVID-19. Sebab, program ini bersifat wajib bagi seluruh pekerja.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, ada banyak kepentingan di balik program Tapera. Salah satunya adalah kepentingan pengusaha properti.

"Kepentingan apa lagi selain menutup APBN? Ini saya harus cari data ada tidak corporate properti di balik ini. Tapi, kelihatannya memang ada pemain properti yang ingin agar perumahan ini bisa menjadi sektor yang didorong pascapandemi," katanya, dalam video conference, Sabtu, 20 Juni.

Bhima mengatakan, salah satu narasi besarnya pemerintah adalah program Tapera harus didukung dan dipercepat, sehingga ini bisa menjadi stimulus di sektor perumahan. Karena kontruksi ini bisa menyerap banyak tenaga kerja dan lain sebagainya. Tapi, belajar dari pembangunan infrastruktur dari pemerintah yang cukup masif ternyata tidak optimal menyerap tenaga kerja.

Lebih lanjut, Bhima mengaku khawatir Program Tapera ini dibangun tanpa memikirkan kesiapan industri baja dan besi di dalam negeri. Karena, jika tidak, dampaknya akan terjadi impor besar-besaran.

"Main asal asalan bangun dan segala macam komponen impornya juga akan semakin besar. Semakin banyak perumahan rakyat yang dibangun kalau tidak siap substitusi dalam negerinya maka ini akan menjadi bocor. Makin cepat makin banjir impor besi dan bajanya jadi besi dan bajanya tidak beli di BUMN, perusahaan dalam negeri tetapi justru kita semakin banyak impor dari negara lain," jelasnya.

Namun, kata Bhima, jika pembangunan masif perumahan rakyat ini tidak diimbangi dengan kesiapan industri dalam negeri tentu hal ini akan sangat menguntungkan importir.

"Sehingga teori menariknya adalah rumah rakyatnya dibangun tetapi nanti nilai tukar rupiahnya babak belur. Itu bisa sangat terjadi kalau pemerintah tidak mengendalikan komponen impornya. Jadi banyak juga kalau sebagai importir besi dan baja senang juga dengan adanya Tapera ini," katanya.

Tak hanya itu, Bhima juga menilai, ada kepentingan dari lembaga yang ditunjuk untuk menampung uang iuran yang dibayarkan para pekerja.

"Jadi ada kepentingan banyak sekali di sini termasuk kepentingan dari lembaga keuangan yang sudah tidak sabar menampung dana Tapera triliunan. Mau di otak atik ke mana dan segala macam karena ada fee pastinya dari manajer investasi," tuturnya.

Bukan solusi

Seperti diketahui, seiring pertumbuhan penduduk yang didorong tingkat kelahiran, dan urbanisasi, kebutuhan perumahan melonjak drastis. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), perumahan menjadi momok tersendiri, jangankan membeli rumah, harga sewa pun sudah terlalu mahal.

Karena kondisi ini, pemerintah kemudian menghadirkan program tabungan perumahan rakyat (Tapera) yang dianggap bisa menjadi solusi. Program Tapera ini lahir sejak beberapa tahun lalu namun implementasinya baru dilakukan di 2020 dengan lahirnya peraturan pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, yang merupakan turunan dari undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2016.

Alih-alih menjadi penyelamat MBR untuk mendapatkan rumah dengan mudah dan murah, Tapera justru mempersulit masyarakat. Apalagi, adanya ketimpangan yang sangat besarnya antara kenaikan upah dengan kenaikan harga properti.

"Pemerintah harusnya sebelum bicara perumahaan, akar masalahnya ini yang harus diselesaikan. Karena sampai kapanpun juga mau ditabung, 50 tahun pekerja disuruh menabung tidak akan terkejar. Karena masalah intinya terkait spekulan pertanahan ini tidak selesai," ucapnya.

Menurut Bhima, ketimpangan ini lah yang harus segera dipersempit oleh pemerintah terlebih dahulu, bukan justru memungut iuran di saat penghasilan masyarakat berkurang akibat pagebluk COVID-19.

"Yang harus diperhatikan adalah gap kenaikan upah dengan kenaikan harga properti harus dapat diperkecil. Ini tidak terlihat di dalam UU Tapera," tuturnya.