JAKARTA - Pemerintah melalui Kemenkes telah menetapkan tarif batas tertinggi untuk swab PCR mandiri sebesar Rp900 ribu.
Perbandingan harga itu pun turut dikomentari Anggota Komisi IX DPR RI, Krisdayanti. Dia menyarankan, agar Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengevaluasi sistem pengadaan alat kesehatan (alkes) di RI.
"Ada beberapa faktor yang menyebabkan harga tes PCR relative berbeda-beda dan mahal, salah satunya merek alat PCR-nya, merek reagen, fasilitas PCR juga mahal. Mulai dari investasi terkait prasarana dan fasilitas laboratoriumnya, aspek keselamatan nakes dan lain-lain," kata Krisdayanti.
Menurutnya, kebijakan India yang menurunkan harga PCR juga harus dibedah lebih jauh. Pasalnya, harga di setiap negara sangat berbeda.
"Kalau India sekarang menurunkan harga, kita harus liat dulu PCR apa yang digunakan? Ketika disamakan merek, fasilitas dan lain-lain tetapi masih ada selisih harga, banyak yang harus dihitung, satu barang dengan merek dan jenis yang sama setiap negara bisa memiliki harga yang berbeda. Toh produk lokal pun banyak yang harga antar pulaunya berbeda. BBM di pulau jawa dan Papua saja beda. Apalagi membandingkan harga fasilitas kesehatan antar negara," jelas politikus PDIP itu.
BACA JUGA:
Oleh karena itu, Krisdayanti mendorong Kemenkes agar produksi dalam negeri dimaksimalkan sehingga bisa menekan harga.
"Peralatan untuk tes PCR tidak perlu lagi impor. Dengan demikian harga tes PCR bisa ditekan menjadi lebih murah. Tanpa mengurangi kualitas dan akurasi hasil tes PCR itu sendiri. Sebab diproduksi di dalam negeri dan tidak kena pajak masuk sebagai barang impor," kata Krisdayanti.
Sementara itu, di Indonesia, harga tes PCR mulai Rp800 ribu hingga tembus jutaan rupiah dengan iming-iming hasil keluar lebih cepat. Jangka waktu untuk hasil tes PCR pun beragam. Ada yang 24 jam, namun ada pula yang harus menunggu beberapa hari.