Membedah Pola Narasi Pemerintah dalam Pengumuman Penanganan COVID-19
Ilustrasi (Foto: Emily Morter on Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 memiliki pola komunikasi yang sama. Ada penegasan kalimat yang selalu berulang ketika mengomunikasikan penanganan virus corona.

Misalnya, saat pemaparan harian soal penanganan COVID-19, Tim komunikasi Gugus Tugas Covid-19 Indonesia, Reisa Broto Asmoro sering menuturkan kalimat yang memotivasi masyarakat untuk berpikir positif. 

"Kita putuskan penularan COVID-19 dan bekerja keras membuat pandemi cepat selesai. Kalau kita percaya, saya yakin usaha kita akan berhasil. Kalau kita semua bekerja sama, hasilnya pasti lebih cepat terlihat. Kita pasti bisa, kok. Kita pasti bisa," kata Reisa di Graha BNPB, Selasa, 16 Juni. 

Selain itu, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 juga menghadirkan motivator Merry Riana, 2 pekan sekali, untuk memotivasi masyarakat. Dengan mengenakan pakaian berwarna rupa, wajah semringah, dan nada bicara yang menggebu, Merry memberi panduan bagi masyarakat untuk berpikir positif terhadap kebiasaan baru.

"Kita harus tetap produktif. Apa pun situasinya kita harus berjalan di tengah new normal ini. Apa pun yang terjadi, you have to get up, dress up, show up and never give up," tutur Merry.

Secara umum, ada tiga narasi utama yang digaungkan pemerintah ketika mengumumkan perkembangan kasus COVID-19. Narasi ini biasanya dituturkan oleh juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19 Achmad Yurianto. 

Narasi tersebut menyatakan bahwa pemerintah serius dalam menangani COVID-19, masyarakat diminta tenang dan waspada, serta keyakinan bahwa COVID-19 bisa disembuhkan. Kenapa harus seperti itu?

Berdasarkan penjelasan dalam laman resmi Kantor Staf Presiden (http://ksp.go.id/waspada-corona/index.html), pemerintah, dalam mengomunikasikan penanganan COVID-19, berpegang pada teori dari psikoterapis Athony de Mello (1997).

Dalam penanganan wabah penyakit di dunia, Anthony de Mello menyatakan bahwa jumlah korban bisa menjadi lima kali lipat, kalau terjadi ketakutan di saat terjadi wabah penyakit. Seribu orang menjadi korban karena sakit, sedangkan empat ribu orang menjadi korban karena panik.

Pemerintah merefleksikan teori Anthony dalam penanganan COVID-19. Komunikasi adalah bagian terpenting dalam menghadapi wabah. Bagi pemerintah, kepercayaan publik perlu dibangun dan dijaga agar tidak terjadi kepanikan dalam masyarakat dan agar penanganan dapat berjalan lancar.

Tim komunikasi penanganan COVID-19 juga memiliki panduan, soal mana narasi yang boleh disampaikan dan mana yang tidak boleh. Tim komunikasi diminta untuk menyampaikan imbauan untuk tetap tenang, menyampaikan bahwa pemerintah daerah dan pusat kompak dalam menangani wabah, dan menyampaikan bahwa stok sembako cukup. Mereka juga mesti menunjukkan bahasa tubuh yang menampilkan pesan siap dan mampu menangani COVID-19.

Sementara, yang tidak boleh diutarakan adalah penggunaan kata "genting", "krisis", dan sejenisnya. Lalu, tim komunikasi juga tidak boleh memberi informasi yang berisi asumsi atau dugaan, serta menunjukkan bahasa tubuh yang tidak serius atau bercanda.