JAKARTA - Pemerintah diminta menunda pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di zona hijau atau daerah yang dianggap aman dari penyebaran COVID-19. Sebab, pembukaan sekolah ini dianggap terlalu terburu-buru.
Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menilai, pembukaan sekolah baiknya ditunda hingga akhir 2020. Sebab, puncak penyebaran COVID-19 belum terjadi dan pengendalian virus belum maksimal hingga saat ini.
"Saya imbau pemerintah pusat dan daerah betul-betul melibatkan para ahli terkait sebelum memutuskan suatu sekolah dibuka meskipun berada di zona hijau," kata Dicky kepada VOI, Rabu, 17 Juni.
Dia menilai, sistem zonasi COVID-19 di suatu wilayah belum bisa diandalkan secara data. Sebab, data pengujian virus corona yang dilaporkan, sebagian besar masih belum bersifat realtime. Selain itu, Indonesia juga masih bermasalah dengan jumlah cakupan pengujian dan kecepatan hasilnya.
"Banyak daerah yang tertunda hasil sampelnya karena keterbatasan kapasitas laboratorium bahkan bisa ribuan," ungkapnya.
Membuka sekolah, kata Dicky, bukanlah hal yang sederhana seperti membuka pusat perbelanjaan. Sebab, kebijakan ini berdampak pada anak dan para guru maupun staf sekolah yang bisa jadi menjadi kelompok rentan karena punya penyakit komorbid.
Dia menilai, sekolah merupakan lingkungan yang harus mendapatkan perhatian khusus di tengah situasi pagebluk COVID-19 ini.
"Selain adanya kelompok anak dan dewasa di sana, juga karena interaksi ini terjadi di ruangan tertutup. Secara teori dan fakta COVID, kondisi indoor jauh berisiko dibandingkan outdoor," jelasnya.
Apalagi, dari studi kasus COVID-19 pada anak, ditemukan potensi infeksi bukan hanya paru-paru tapi pada ginjalnya. Sebelumnya, sebuah studi juga menemukan adanya manifestasi multisystem inflamatory syndrome.
Tak hanya soal kesehatan jasmani, kesehatan mental para siswa juga menjadi rentan di masa pagebluk COVID-19. Sebab, para siswa belum siap kembali ke sekolah, setelah berada dalam situasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
"Itu sebabnya saya sampaikan, memuka sekolah dalam situasi pandemi tidak sesederhana seperti membuka shopping mall," tegasnya.
55,1 persen sekolah belum siap
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menggelar sebuah survei bertajuk 'Kesiapan Sekolah Menghadapi Kenormalan Baru Dalam Pembelajaran' pada 6-8 Juni.
Survei diikuti 1.656 responden yang terdiri dari guru, kepala sekolah, dan manajemen sekolah di 34 provinsi dan 245 kabupaten/kota. Hasilnya menyatakan, sebanyak 55,1 persen responden menilai sekolah belum siap melaksanakan kegiatan belajar mengajar.
"Mayoritas sekolah sebanyak 55,1 persen menjawab sekolah belum memenuhi semua kebutuhan pokok yang dibutuhkan dalam menghadapi kenormalan baru. Artinya, sekolah belum siap untuk dibuka kembali," kata Wakil Sekjen FSGI Satriwan Halim dalam kegiatan webinar yang ditayangkan di YouTube, Selasa, 16 Juni.
Dia menjelaskan, ada tujuh komponen pokok yang harus disiapkan jika sekolah di zona hijau akan dibuka. Seperti adanya protokol kesehatan dan sosialisasi kepada orang tua serta peserta didik.
Selain itu, kesiapan aturan teknis seperti pengaturan jam belajar, sif, jadwal guru, pembagian masker, tata tertib di tengah kenormalan baru, dan pengaturan kantin harus dilakukan.
Selanjutnya, kesiapan guru dan kesiapan sarana dan prasarana sekolah yang mendukung kenormalan baru perlu disiapkan. Terakhir adalah mengenai manajemen sekolah dan kesiapan anggaran.
Di sisi lain, kendala berat yang dihadapi sekolah saat kegiatan pembelajaran kembali dilakukan adalah mempersiapkan sarana dan prasarana mendukung normal baru, adanya protokol kesehatan, kesiapan anggaran, sosialisasi, koordinasi dengan seluruh stakeholder, aturan teknis, waktu persiapan yang terbatas, kesiapan manajemen, dan kesiapan guru.
BACA JUGA:
Hasil survei ini juga menyatakan, sebanyak 20,8 persen responden ingin sekolah kembali dibuka saat ajaran baru, pada Juli. Selanjutnya, 18,2 persen kbmenilai sekolah sebaiknya dibuka di awal semester genap atau pada Januari 2021.
"Mayoritas sekolah, sebanyak 55,1 persen responden sepakat menjawab membuka sekolah kapan pun jika kondisinya sudah normal kembali," ungkapnya.
Atas hasil survei tersebut FSGI merekomendasikan perpanjangan kegiatan belajar dari rumah baiknya dilakukan di semua zona.
"SKB 4 Menteri memberikan peluang bagi siswa yang berjumlah enam persen dari untuk kembali ke sekolah. Tapi ini menimbulkan persoalan baru dalam hal teknis seperti izin orang tua, koordinasi dengan pemda, sosialisasi protokol, zona hijau tapi dikelilingi zona merah, dan angkutan umum," jelas Satriwan.
Perpanjangan ini, kata Satriwan, harus diikuti dengan perbaikan kualitas dan layanan guru dan siswa. Caranya dengan membuka jaringan dan menggratiskan internet bagi siswa dan guru di daerah khusus.
Pemda, sambungnya, harus membangun kerja sama dengan radio komunitas maupun saluran tv lokal untuk membantu kegiatan belajar mengajar. Selain itu, harus ada insentif bagi guru kunjung, terkhusus guru honorer.
FSGI juga menyinggung soal perlunya kurikulum darurat di tengah pagebluk. Hal ini harus disiapkan, karena sangat bermanfaat saat ini, maupun di masa mendatang ketika ada situasi semacam ini terjadi lagi.
"Pelonggaran kurikulum yang adaptif sebuah keniscayaan. Tentunya berbentuk Permendikbud bukan hanya sekadar Surat Edaran Sekjen Kemendikbud atau Mendikbud," tegasnya.
Sebelumnya, pemerintah membuat ketentuan kegiatan pembelajaran bagi siswa di tahun ajaran 2020-2021 sesuai dengan zona penyebaran COVID-19 di tiap wilayah, mulai dari zona merah, oranye, kuning, dan hijau.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyebut, pemerintah hanya melakukan kegiatan belajar dan mengajar di sekolah pada 85 kota wilayah pada awal tahun ajaran baru yang dimulai 13 Juli.
"Kami memperbolehkan 6 persen daerah memberlakukan pelajaran tatap muka tapi dengan protokol kesehatan atau 85 kota. Prinsip dasarnya, kami gunakan maka relaksasi dalam pembukaan sekolah dengan cara konservatif. Artinya, ini cara terpelan untuk membuka sekolah sehingga keamanan bisa dipastikan," kata Nadiem dalam konferensi pers virtual, Senin, 15 Juni.
Nadiem tak merinci daerah mana saja yang diperbolehkan untuk melakukan pembukaan sekolah kembali. Yang jelas, 85 kota itu merupakan zona hijau, atau wilayah yang tak memiliki kasus COVID-19.
Sementara, 429 kota lainnya atau 94 persen sekolah di Indonesia masih diwajibkan melakukan kegiatan belajar secara daring dari rumah. Daerah ini masuk dalam zona merah, oranye, dan kuning.
"Untuk daerah zona kuning, oranye, merah dilarang melakukan pembelajaran tatap muka di satuan pendidikan karena mereka masih ada resiko penyebaran (virus corona)," ucap Nadiem.
Selain ketentuan zona yang boleh menerapkan pembelajaran di sekolah, ada persyaratan lain yang mesti dipenuhi. Sekolah bisa dibuka jika pemerintah daerah atau Kantor Wilayah/Kantor Kementerian Agama memberi izin. Kemudian, satuan pendidikan sudah memenuhi semua daftar periksa dan siap melakukan pembelajaran tatap muka.
Hal terakhir yang mesti dilakukan dalam pelaksanaan belajar zona hijau di masa transisi yakni instansi pendidikan harus meminta perizinan kepada orang tua agar menyetujui anaknya melakukan kegiatan belajar di sekolah.