PLN: <i>Work From Home</i> Membuat Tarif Listrik Sebagian Masyarakat Mengalami Kenaikan
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Belakangan, masyarakat ramai mengeluhkan tagihan listrik yang membengkak selama work from home (WFH). Masyarakat memperkirakan ada kenaikan tarif listrik secara diam-diam atau ada subsidi silang yang diterapkan untuk pengguna daya 450 VA dan 900 VA. Namun, hal ini dibantah PT PLN (Persero).

Senior Executive Vice President Bisnis dan Pelayanan Pelanggan PLN Yuddy Setyo Wicaksono mengatakan, ada tiga hal yang menyebabkan tagihan listrik pelanggan mengalami kenaikan pada rekening April dan Mei. Salah satunya, karena adanya pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang menyebakan masyarakat harus menjalani WFH.

"Pencatatan WFH menyebabkan peningkatan konsumsi listrik untuk sebagian rumah tangga. Saya sampaikan tidak semua rumah tangga mengalami kenaikan, hanya sebagian yang mengalami kenaikan. Kenapa naik? Karena WFH seluruh anggota keluarga ada di rumah," katanya, dalam diskusi virtual, Senin, 8 Juni.

Yuddy menjelaskan, pada saat diterapkannya kebijakan WFH yang tadinya konsumsi listrik terjadi mulai sore hingga malam, kini berubah lebih panjang sejak pagi hingga malam. Pasalnya, seluruh anggota keluarga menjalankan aktivitas yang awalnya dilakukan di luar rumah menjadi dikerjakan di rumah.

"Kalau sekarang, saat WFH mulai dari pagi, siang, sore, malam 24 jam aktivitas orang ada di rumah. Ini yang menyebabkan kita tidak "merasa" menggunakan konsumsi besar. Padahal waktu pemanfaatan listrik cukup panjang pada saat WFH," jelasnya.

Kemudian, penyebab kedua adalah pada bulan Mei juga bertepatan dengan momen bulan Ramadan. Di mana masayarakat akan memulai aktivitasnya lebih pagi lagi.

"Kita ketahui di bulan Mei ada Ramadan. Kami punya data di Ramadan dibandingkan dengan bulan sebelumnya terjadi kenaikan konsumsi listrik. Kenapa? Karena kita bangun lebih awal, mengerjakan kegiatan masak, lampu dinyalakan semuanya. Artinya konsumsi listrik lebih panjang sehingga pada saat Ramadan bisa dipastikan akan terjadi kenaikan," tuturnya.

Ketiga, kata Yuddy, naiknya tagihan listrik juga akibat pencatatan dengan sistem rata-rata pemakaian bulan sebelumnya yakni Januari hingga Februari sebelum PSBB diberlakukan. Ia menjelaskan, penghitungan rata-rata tagihan listrik ini mulai diterapkan pada pemakaian Maret rekening April.

Pada bulan Maret para petugas PLN tidak dianjurkan untuk data menghitung meter di masing-masing hunian pelanggan. Hal ini demi mendukung upaya pemerintah memutus mata rantai COVID-19.

"Pada saat bulan April ada kenaikan komsumsi listrik ini karena pencatatanya berdasarkan rata-rata tiga bulan, maka tidak terlihat ada energi atau konsumsi listrik yang digunakan oleh pelanggan tetapi belum tercatat atau belum dibayar," jelasnya.

Kemudian, kata Yuddy, pada bulan Mei PLN juga menerapkan pencatatan rata-rata, maka di bulan Mei pun ada kenaikan yang belum dicatat ataupun belum dibayar oleh pelanggan. Sehingga, pada saat bulan Juni saat petugas PLN kembali mendatangi rumah pelanggan untuk melakukan pencatatan meter kWh penggunaan listrik terlihat adanya kenaikan konsumsi listrik.

"Maka di bulan Juni ada kenaikan kWh yang belum dicatat di bulan April dan Mei dan dilimpahkan di bulan Juni. Ini yang menyebabkan pembengkakan atau lonjakan tagihan listrik," tuturnya.

Pelanggan Bisa Cicil Tagihan Listrik yang Naik

Yuddy menjelaskan, PLN telah menyiapkan solusi dari banyaknya keluhan masyarakat mengenai kenaikan tagihan listrik. Ia menyatakan, pelanggan bisa mencicil pembayaran tagihan listrik yang naik pada April dan Mei atas pemakaian bulan sebelumnya sebanyak tiga kali atau tiga bulan ke depan.

Artinya, pelanggan yang mengalami kenaikan tagihan listrik atas pemakaian listrik di bulan Mei yang ditagihkan pada Juni, bisa dicicil pada tiga bulan selanjutnya yakni Juli, Agustus, sampai September.

"60 persen dari kenaikan itu dicicil selama tiga bulan mulai bulan depan. Sementara 40 persen dari kenaikan dibayarkan di bulan Juni ini. Ini bisa cukup membantu para pelanggan. Kami paham kondisi pelanggan sehingga dengan melakukan angsuran tersebut dapat lebih ringan," jelasnya.

Yuddy kemudian memberikan contoh cara menghitung pembayaran tagihan listrik secara bertahap selama tiga bulan. Misalnya, rata-rata tagihan listrik pelanggan berdasarkan bulan-bulan sebelumnya yakni Januari hingga Februari sebesar Rp1 juta. Saat diberlakukannya sistem tagihan listrik dengan rata-rata berdasarkan bulan sebelumnya, pelanggan tetap membayarkan sebesar Rp1 juta pada bulan April dan Mei.

Lebih lanjut, Yuddy mengatakan, karena pada April dan Mei tidak tercatat sesungguhnya, maka kWh yang belum tercatat terlihat di bulan berikutnya. Sehingga pelanggan harus membayar kWh yang belum dibayar tersebut dengan rumus jumlah tagihan ditambah 40 persen kenaikan.

"Pemakaian di bulan Maret atau rekening April saya bayarnya Rp1 juta karena pemakaian rata-rata di bulan sebelumnya saya Rp1 juta. Padahal pemakaian saya adalah lebih dari Rp1 juta, misal Rp1,6 juta. Maka kelebihan Rp600.000 ini akan dibayarkan 40 persennya di bulan Juni," tuturnya.

"Yang harus saya bayarkan di bulan Juni yaitu Rp1 juta tagihan listrik rata-rata ditambah 40 persen dikali kenaikannya Rp600.000. Jadi di bulan Juni pelanggan membayar Rp1,240.000 sisanya Rp360.000 dibayar tiga kali selama tiga bulan masing-masing Rp120.000 di Juli, Agustus, September," ucapnya.