Bagikan:

JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesia Political Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai belum ada sinergi antara keinginan Presiden Joko Widodo dengan capaian kinerja para menterinya. Sehingga, kepala negara harus turun langsung membagikan paket sembako dan obat COVID-19 ke rumah warga. 

"Saya belum melihat satu chemistry sinergi, bahkan saya melihat belum ada persamaan, satu pandangan, platform yang sama antara keinginan presiden dengan pembantunya," ujar Karyono kepada VOI, Jumat, 16 Juli.

Menurutnya, di tengah situasi pandemi yang memprihatinkan ini seharusnya menteri mengikuti irama, kecepatan atau akselerasi penanganan pandemi. Baik dari aspek kesehatan maupun dampak sosial ekonominya.

Diperparah lagi dengan sikap kepala daerah yang slow respon. Kemudian di setiap kebijakan ada namanya ketidaksinambungan antara pemerintah pusat dan daerah yang semakin memperlambat proses akselerasi penanganan COVID-19.

"Misalnya realiasasi vaksin, kan jauh dari target. Kemudian pelayanan RS, infrastruktur, fasilitas RS itu tidak mencukupi. Pasien Covid tidak tertangani dengan baik, tidak tertampung, oksigen langka dilapangan. Itu kan realitas yang terjadi," bebernya.

Belum lagi, lanjut Karyono, di tengah penderitaan masyarakat muncul wacana vaksin mandiri yang dimotori oleh Kimia Farma, dimana notabane-nya adalah BUMN. Muncul pula beberapa kasus vaksin diperjualbelikan, meskipun sudah ada sanksi.

"Nah wacana vaksin mandiri ini kan ada korelasi dengan pelambatan program vaksinasi yang seharusnya mencapai target sekian puluh juta. Realisasi masih jauh dari target, lalu muncul vaksin mandiri. Artinya dibuka ruang untuk agar masyarakat jika menginginkan percepatan vaksin itu bisa dengan membayar," papar Karyono.

Karyono mencurigai, ada instrumen dan satu design besar yang sengaja membuat vaksin ini menjadi dikomersialisasi. Yaitu adanya syarat berpergian harus menggunakan kartu vaksin.

"Terkait registrasi bekerja (SRTP) its ok, itu rasional dalam rangka mensukseskan PPKM Darurat untuk mengurangi mobilitas. Tapi adanya syarat sertifikat vaksin itu kan ada korelasi dengan wacana vaksin mandiri tadi, sehingga orang dipaksa untuk digiring melakukan vaksin mandiri karena itu dibutuhkan sebagai persyaratan," jelasnya.

"Nah, kebijakan ini yang saya kira presiden harus tegas kepada para pembantunya, para menteri karena justru tidak sinergis antara kemauan presiden, visi presiden dengan kebijakan yang ada," tambah Karyono. 

Presiden, sambungnya, berkali-kali mengucapkan vaksin gratis, tidak boleh diperjualbelikan, dan rakyat menyaksikan itu semua. Kemudian malah dibuka ruang untuk vaksin mandiri.  

"Nah kebijakan ini yang menurut saya perlu di evaluasi kalau perlu dibatalkan," tegas dia. 

Karyono mengingatkan, diperlukan akselerasi untuk membuat satu sistem bagaimana pembantu presiden, kepala daerah bersama sama melaksanakan vaksinasi. 

"Bukan membuat satu sistem untuk menggiring supaya masyarakat melakukan vaksin mandiri secara berbayar. Yang dibutuhkan itu percepatan ketersediaan vaksin dan percepatan melakukan vaksin itu sendiri, gratis," tandas Karyono.

Diketahui, Presiden Jokowi akhirnya resmi membatalkan vaksin Berbayar atau vaksin Gotong Royong yang semula akan disalurkan melalui Kimia Farma. Keputusan ini diambil setelah Jokowi mendapatkan masukan dan respon dari masyarakat.