Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah kembali melakukan perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020. Hal ini karena defisit APBN yang semakin melebar dari proyeksi awal yakni 5,07 persen. Dasar hukum perubahan kedua atas postur tersebut akan rampung dalam dua pekan ke depan.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, perubahan kedua atas Perpres 54 Tahun 2020 yang disah-kan pada 6 April, saat ini sedang dalam proses dan sudah ditetapkan dalam sidang kabinet.

"Ini adalah bagian dari kenyataan yang harus kita hadapi dan pemerintah respons dengan cepat terhadap apa yang terjadi di dalam pertumbuhan ekonomi kita hari demi hari. Secara resminya dilakukan dengan Perpres. Ini bisa disahkan dalam waktu yang tidak lama, katakanlah seminggu sampai dua minggu dari sekarang," katanya, dalam video conference bersama wartawan, Kamis, 4 Juni.

Febrio berujar, perubahan kedua postur APBN itu, mencerminkan bahwa situasi kehidupan saat ini berada pada kondisi yang tidak normal. Kondisi ini menuntut adanya kecepatan dari pemerintah atas perubahan-perubahan yang terjadi di masa pagebluk COVID-19 ini.

Seperti diketahui, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan bahwa defisit anggaran dibatasi maksimal 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Namun, karena pagebluk COVID-19 defisit diproyeksi melebar, sehingga pemerintah mengeluarkan Perppu Nomor 1 tahun 2020.

Batas maksmial defisit APBN 2020 dinaikkan melalui Perpres Nomor 54 Tahun 2020 pada 6 April. Sebab defisit telah mencapai 5,07 persen. Kemudian, pemerintah melebarkan defisit APBN kembali menjadi 6,34 persen.

"Kita sudah punya tiga postur tahun ini. Postur pertama adalah APBN 2020. Kedua perubahannya di Perpres Nomor 54 Tahun 2020. Lalu Perpres selanjutnya adalah perubahan yang kedua dari Perpres Nomor 54 Tahun 2020. Ini lah proses yang terjadi dalam dua bulan terakhir ini," katanya.

Peluang Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Negatif

Febrio mengatakan, saat ini pemerintah masih mengunakan skenario berat. Namun, dia tak menampik, bahwa ada peluang krisis ekonomi. Di mana pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi negatif sesuai dengan skenario paling berat yakni minus 0,4 persen.

"Ini yang berusaha kita hindari. Sebenarnya perlambatan yang sangat signifikan saja sudah sangat berat kita jalani. Biasanya kita tumbuh 5 persen, namum sekarang kita akan sangat dalam koreksinya. Tetapi yang sangat kita ingin hindari adalah jangan sampai pertumbuhannya negatif," jelasnya.

Menurut Febrio, jika pertumbuhan ekonomi Indonesia negatif dampaknya terhadap kemiskinan dan pengangguran sangat tinggi. Karena kondisi ini lah pemerintah akhirnya kembali mengubah postur APBN 2020.

"Ini lah yang menjadi dasar kenapa pemerintah mengoreksi, mengeluarkan program kebijakan baru, memastikan jangan sampai kita tumbuhnya negatif. Ikhtisar yang sebenarnya terjadi di pertumbuhan ekonomi kita jelasnya lagi adalah supaya kemiskinan tidak terlalu dalam parahnya. Pengangguran tidak terlalu banyak tambahnya. Karena kalau terlalu banyak, untuk mengurusnya lagi untuk recovery-nya itu terlalu berat. Ini pasti akan berat," katanya.