Kritisi Sanksi Bagi Penolak Vaksin, DPR: Menambah Beban Masyarakat saat Pandemi
FOTO ILUSTRASI/ANTARA

Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komisi VIII DPR Bukhori Yusuf mengkritisi langkah pemerintah yang memberikan sanksi denda kepada masyarakat yang menolak divaksin COVID-19. Meski dalam situasi darurat, manajemen krisis yang dilakukan pemerintah menurutnya tidak boleh mengabaikan aspek humanisme.

“Terkait halnya sanksi denda bagi warga penolak vaksin, sangat disesalkan bahwa kami tidak melihat cara tersebut sebagai metode yang diilhami dari pikiran yang jernih,” ujar Bukhori, Kamis, 1 Juli.

Menurut politikus PKS itu, masyarakat sudah depresi akibat pandemi. Ditambah lagi, penyimpangan bansos hingga korupsi yang menjerat Juliari Batubara. Kini, beban sambung Bukhori harus ditambah oleh sanksi denda hanya karena menolak vaksinasi. 

"Padahal, vaksin itu bersifat pilihan," katanya.

Anggota komisi yang mengurusi maslaah kebencanaan ini menerangkan, dirinya bisa memahami niat baik pemerintah dalam program vaksinasi ini, yakni untuk segera membentuk herd immunity melalui Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2021.

Namun, kata dia, tidak bisa dipungkiri masih ada kecemasan dari kelompok masyarakat yang ragu terhadap keamanan vaksin.

“Secara garis besar ada beberapa alasan utama dari warga yang masih diliputi rasa bimbang. Pertama, masih ada yang mempertanyakan simpang siur kehalalan vaksin. Kedua, soal efek samping serius dari vaksin mengingat ini menyangkut nyawa," jelas Bukhori.

"Misalnya, beberapa negara di dunia telah melaporkan kasus pembekuan darah setelah vaksinasi sehingga secara fatal berakibat pada kematian. Ketiga, sejauh mana keamanan vaksin dan kepastian pertanggungjawaban pemerintah jika terjadi hal-hal yang tidak diharapkan,” sambungnya.

Anggota komisi agama ini meyakini, sejatinya tidak ada masyarakat yang menginginkan dirinya rentan terhadap virus COVID-19. Apalagi dalam syariat, vaksinasi adalah bagian dari ikhtiar seorang muslim untuk Hifzun Nafs atau menjaga jiwa.

Dia menyarankan supaya Perpres tersebut dicabut dan meminta pemerintah berfokus pada strategi edukasi yang masif.  

“Artinya, akar permasalahan bukan terletak pada faktor keengganan masyarakat untuk divaksin, tetapi sejauh mana efektivitas pemerintah dalam mendialogkan duduk perkara dengan masyarakat, mengkomunikasikan pesan soal manfaat dan kepastian vaksin, serta meluruskan kabar hoax soal vaksin di tengah masyarakat. Ini adalah cara-cara humanis untuk membangkitkan kesadaran publik tanpa harus membuat mereka benci dengan program baik pemerintah,” paparnya.

Bukhori juga menyoroti persoalan terkait manajemen penyelenggaraan vaksinasi massal di sejumlah tempat yang lemah secara tata kelola. Beberapa penyelenggara terbukti gagal mengantisipasi kerumunan yang ditimbulkan akibat antrean yang membeludak. Alhasil, usaha vaksinasi menjadi kontradiktif dengan tujuan utamanya.

Ketua DPP PKS ini juga mengingatkan upaya vaksinasi akan sia-sia apabila tidak dibarengi dengan upaya menekan mobilitas warga. Menurutnya, pemerintah semestinya tidak serba tanggung dalam meramu kebijakan untuk merespons kondisi aktual terkait pandemi.

Terlebih, kebijakan pemerintah yang tidak konsisten sedari awal telah menyebabkan kecemasan bagi masyarakat. 

"Unsur ini menjadi penting mengingat vaksinasi bukan satu-satunya kunci menanggulangi pandemi,” ujar Bukhori.

Sanksi menolak divaksin

Ada pun sanksi tersebut tertuang dalam pasal yang sama di Perpes 14/2021, tepatnya di ayat (4), bunyinya adalah sebagai berikut:

"Setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin COVID-19 yang tidak mengikuti vaksinasi COVID-19 sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dikenai sanksi administratif berupa:

a. Penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial;

b. Penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan; dan/atau

c. Denda. 

Di pasal selanjutnya, yakni Pasal 13B, orang-orang tersebut yang pada akhirnya menyebabkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan penyebaran COVID-19 juga dapat dikenai sanksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.

Pada Pasal 14 UU 34/1984, mereka yang dengan sengaja menghalangi penanggulangan wabah, diancam dengan hukuman penjara maksimal 1 tahun atau denda paling tinggi Rp1 juta.

Sementara apabila hal itu terjadi atas dasar kelalaiannya, maka yang bersangkutan akan dikenai sanksi penjara maksimal 6 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp500 ribu.