Tak Tepat Digaungkan saat Pandemi, Hentikan Narasi Presiden 3 Periode yang Langgar Konstitusi
FOTO ILUSTRASI/ANTARA

Bagikan:

JAKARTA - Pakar Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad mengkritik munculnya kembali wacana masa jabatan presiden 3 periode. Menurutnya, narasi tersebut sangat tidak tepat digaungkan di tengah kondisi bangsa yang saat ini sedang melawan pandemi COVID-19.

“Menyuarakan hal itu memang hak berekspresi dalam iklim demokrasi. Tapi tidak tepat jika disampaikan saat ini mengingat Indonesia sedang berupaya menangani COVID-19,” ujar Suparji, Senin, 21 Juni.

Menurutnya, wacana presiden 3 periode belum memiliki legitimasi hukum positif. Sebab, konstitusi sudah mengamanatkan bahwa masa jabatan presiden dibatasi hanya 2 dua periode.

Suparji menjelaskan dalam Pasal 9 UUD 1945 menyatakan, Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

"Maka presiden 3 periode pada saat ini belum sesuai konstitusi,” tegas Suparji.

Lantaran bertabrakan dengan konstitusi, kata Suparji, wajar apabila mayoritas masyarakat menolak wacana tersebut. Bahkan, isu yang beredar di media sosial tersebut bisa didalami apakah mengandung unsur pasal 15 atau 15 UU Nomor 1946 tentang penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran.

"Karena konstitusi jelas mengatakan bahwa jabatan presiden dan wakil presiden hanya bisa 2 periode. Tapi kok memberitakan untuk dicalonkan lagi," ketusnya.

Karena itu, Suparji berharap kepada akademisi, peneliti dan aktivisi politik untuk bernarasi sesuai konstitusi dan teori politik yang baik. Sebab, narasi sesat itu perlu segera dihentikan.

“Akademisi bertugas meluruskan narasi-narasi yang bertentangan dengan konstitusi. Bukan justru mengatasnamakan rakyat untuk melanggarnya,” pungkasnya.