Bagikan:

JAKARTA - Jurnalis asal Indonesia, Veby Mega Indah, harus merelakan penglihatan mata sebelah kanannya setelah tertembak oleh polisi saat meliput aksi demonstrasi di Hong Kong beberapa waktu lalu. Kini ia bertekad untuk menempuh jalur hukum terkait apa yang dialaminya.

"Dia (Veby) telah diberitahukan bahwa pupil mata kanannya pecah akibat dari tembakan. Persentase pasti dari kerusakan hanya dapat diketahui setelah operasi," ujar pengacara Veby, Michael Vidler, dikutip dari South China Morning Post, Rabu 4 Desember 2019. 

Dijelaskan Michael, pihaknya telah mengantongi sejumlah bukti kuat yang bisa membantah argumen kepolisian Hong Kong.  Kendati demikian, dirinya belum menerima respon dari pihak berwenang di negara Hong Kong tersebut. 

“Kami telah mengajukan pengaduan pidana dan meminta rincian identitas penembak dan langkah apa yang mereka (polisi) ambil untuk menyelidiki. Kami belum menerima jawaban yang substantif,” tambah Michael. 

Dalam penuturan Veby, saat meliput demonstrasi pro-demokrasi d Hong Kong. Ia mengenakan identitas lengkapnya sebagai jurnalis, mulai dari rompi tanda pengenal press hingga id cardnya. 

Saat insiden penembakan terjadi, Veby juga tak sendiri sebab banyak rekan jurnalis yang ikut serta bersamanya di kawasan Wan Chai, Hong Kong. Bahkan tepat sebelum peluru menyasar ke mata kanan Veby, banyak pewarta yang menghalau sembari meneriakkan 'jurnalis' 

“Saya memakai helm dan kacamata. Saya berdiri dengan jurnalis lain. Saya mendengar seorang jurnalis berteriak, 'Jangan tembak, kami ini jurnalis'. Tapi polisi tetap menembak. Hal berikutnya yang saya tahu, saya terjatuh," jelas Veby. 

Veby harus menjalani operasi, namun sayang dokter tidak bisa menyelamatkan matanya. Keluar dari rumah sakit sekitar tiga minggu lalu, Veby mengatakan bola matanya yang pecah mungkin harus diangkat jika keadaannya semakin memburuk.

Meskipun Veby telah memaafkan pelaku, namun Veby tetap mengambil jalur hukum untuk menyelesaikannya. Hal tersebut dilakukan karena pihak kepolisian Hong Kong tidak juga membuka identitas polisi yang telah menembak matanya. 

"Saya berharap akan ada keadilan, sehingga petugas yang menembak saya akan menghadapi konsekuensi sesuai dengan hukum, sehingga petugas polisi mengerti apa yang tidak bisa mereka lakukan," kata Veby.

Veby berkecimpung di dunia jurnalisme selama 13 tahun. Ia menginjakkan kaki di Hong Kong pada 2012 dan kerap menulis berita terkait hak-hak pekerja migran asal Indonesia di Hong Kong.

Berurusan dengan pihak berwenang Hong Kong 

Yuli Rismawati, yang telah bekerja di Hong Kong sebagai jurnalis selama satu dekade harus menerima kenyatan bahwa dirinya akan dideportasi. Hal tersebut terjadi setelah Yuli menulis berita tentang demonstrasi pro-demokrasi Hong Kong. 

Sebelum demonstrasi pro-demokrasi Hong Kong pada pecah pada Juni, ia seringkali menulis berita terkait kegiatan pekerja Indonesia di Hong Kong. Tetapi sejak demonstrasi meluas, Yuli meliput aksi demonstrasi setiap Minggu atau setiap kali dia libur. Dia juga menyatakan bahwa artikel yang ia tulis adalah berita faktual dan tidak memasukkan pendapat pribadinya.

Dilansir dari Hong Kong Free Press, Yuli ditangkap di kediamannya pada 23 September karena tidak memperpanjang visanya yang berakhir pada 27 Juli. Pihak pengadilan tidak menunjukkan bukti bahwa Yuli tidak memperpanjang visa, namun terdapat keterangan lain bahwa alasan Yuli ditahan karena ia tidak punya tempat tinggal, padahal ia tinggal bersama majikannya.

Yuli memiliki kontrak kerja selama dua tahun yang dimulai pada Januari 2019 dan majikannya pun telah meminta untuk memperpanjang visa Yuli karena keluarga mereka akan terus mempekerjakannya.

Yuli mengatakan dia selalu meminta form perpanjangan visa yang akan dia isi di tahanan, tetapi petugas imigrasi terus menundanya. Bukan form perpanjangan yang diberi, justru ia dipaksa menulis surat pembatalan perpanjangan visa. Karena Yuli dalam keadaan demam yang tak kunjung sembuh, akhirnya ia terpaksa menulis pembatalan perpanjangan visa tersebut. Ia kembali ke Indonesia dengan penerbangan Hong Kong - Surabaya.

Meski tidak diperlakukan dengan adil, Yuli mengaku bahagia dan terharu melihat orang-orang yang membelanya.  Mungkin kepulangannya ke Indonesia adalah keputusan paling baik yang harus ia terima.