Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir Banyuwangi dan Skema Mitigasi Tsunami 20-20-20
Anggota Destana Desa Sarongan berlatih proses evakuasi (IST)

Bagikan:

BANYUWANGi - Potensi tsunami yang disebut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) membuat semua pihak harus menyiapkan mitigas penanganan bencana. Masyarakat pesisir selatan Banyuwangi kini mendapatkan sosialisasi mitigasi bencana tsunami.

Selain memanfaatkan teknologi, masyarakat di pesisir selatan Banyuwangi rupanya memiliki kearifan lokal sebagai langkah untuk mitigasi bencana tsunami.

Di Desa Sarongan, Banyuwangi, masyarakat setempat mempunyai kearifan lokal soal tanda-tanda terjadinya tsunami, selain adanya gempa besar.

Tanda tersebut berdasarkan pengalaman wilayah desa ini yang sempat dihantam tsunami pada 1994 lalu.

Ketua Desa Tangguh Bencana (Destana) Sarongan Agus Salim Afandi mengatakan ada dua peristiwa janggal yang ditandai jika akan terjadi tsunami.

Pertama yakni ikan-ikan terlihat menepi ke area pantai. Fenomena ikan minggir ini dipercaya karena di dalam laut sedang terjadi peristiw yang tak biasa.

"Kalau tsunami itu, ikan minggir. Mereka tahu, kok terjadi ikan minggir ini kan terjadi sesuatu, warga pasti curiga," katanya, Kamis, 10 Juni.

Kemudian, bau air laut biasanya lebih tajam dan menyengat dari hari-hari biasanya.

"Ini asinnya menyengat sekali kalau terjadi tsunami. Ini orang dulu (yang mengalami tsunami) yang bilang begitu," kata dia.

Agus mengatakan, warga Desa Sarongan sudah terbiasa dan mengetahui hal yang harus  dilakukan jika terjadi tsunami. Salah satunya jika terjadi gempa besar, mereka sudah pasti mencari tempat tinggi untuk evakuasi diri.

Anggota Destana Desa Sarongan berlatih proses evakuasi (IST)

Warga juga sudah terbiasa dengan mitigasi skema 20-20-20. Skema ini adalah pedoman mitigasi bencana bagi masyarakat awam, terutama yang tinggal di kawasan pesisir pantai.

Skema tersebut menjelaskan jika masyarakat merasakan guncangan selama 20 detik, maka setelah itu harus mengevakuasi diri.

Sebab, dalam 20 menit potensi tsunami akan terjadi. Selanjutnya, masyarakat diimbau lari menjauhi pantai menuju tempat yang lebih tinggi, dengan ketinggian minimal 20 meter.

"Kita sudah persiapkan daerah 20 meter ke atas, ini agar masyarakat aman. Kita sudah memberi angan-angan ke masyarakat, hingga pengenalan tanda-tanda," kata dia.

Dulu sebelum 1994, kata Agus, masyarakat belum tahu apa itu tsunami dan tanda-tandanya.

"Dulu tak tahu, sekarang sekali ada gempa meski tak kuat, sudah lari. Jika sirine bunyi langsung lari," katanya.

Latihan mitigasi semcaam ini selalu dilakukan 2 hingga 3 kali dalam setahun. Hal ini untuk mempertajam insting warga jika ada tanda-tanda tsunami.

Agus menjelaskan Destana merupakan desa tangguh bencana yang dibentuk BPBD. Destana beranggotakan 35 orang yang bertugas memberikan sosialiasi bencana.

"Ruhnya kami di sosialisasi, minimal 2-3 kali dalam setahun mitigasi bencana," katanya.

Untuk diketahui, sebanyak 60 warga Desa Sarongan menjadi korban tsunami pada 1994 lalu. Dari jumlah itu, 43 orang dinyatakan hilang.

Kasi Pencegahan Bencana BPBD Banyuwangi, Yusuf Arif mengatakan ada 6 desa di pesisir pantai selatan Banyuwangi yang membentuk Destana. Di antaranya Desa Sumberagung, Desa Pesanggaran, Sarongan, Grajagan, Muncar, dan Kedungringin.

"Di desa-desa tersebut sudah dilengkapi rambu dan jalur evakuasi ketika sewaktu-waktu bencana datang," katanya di Kantor BPBD Banyuwangi, pekan lalu.