Bagikan:

JAKARTA - Tim ilmuwan dari Amerika Serikat (AS) memiliki cara unik untuk mendapatkan sampel baru agar bisa diteliti dan mengetahui jenis virus corona baru. Mereka mengenakan jas hazmat, masker, dan sarung tangan tebal untuk menutupi setiap inci kulit mereka lalu menuju gua untuk menangkap kelelawar. Kontak dengan kotoran atau urin kelelawar bisa membuat mereka terkena virus paling mematikan di dunia.

Dilengkapi dengan lampu depan, mereka memasang jala di pintu masuk yang gelap dan ditumbuhi pohon bambu. Area tersebut merupakan gua batu kapur yang luas di Provinsi Yunnan, China.

Dilansir dari CNN. Senin 27 April, Smithsonian Institution melakukan pengambilan sampel kelelawar di Myanmar dan Kenya yang mana ditemukan enam jenis virus corona baru. "Sejauh ini kami dapat mengidentifikasi enam virus corona baru di Myanmar," kata Suzan Murray, pemimpin Program Kesehatan Global Smithsonian Institution.

Kemudian, mereka dengan sabar menunggu senja. Ketika matahari terbenam, ribuan kelelawar terbang keluar dari gua, mencari makanan dan langsung masuk ke jala mereka. Para ilmuwan mengumpulkan jala dan dengan hati-hati meletakkan kelelawar agar bisa dibius dengan obat yang ringan, lalu dengan hati-hati mengambil darah dari pembuluh darah di sayap kelelawar. 

"Kami juga melakukan swab oral dan feses dan mengumpulkan kotoran," kata Peter Daszak, yang memimpin EcoHealth Alliance, sebuah LSM AS yang berspesialisasi mendeteksi virus baru dan pencegahan pandemi.

Daszak adalah pemburu virus. Selama sepuluh tahun terakhir, ia telah mengunjungi lebih dari 20 negara untuk mencegah pandemi besar berikutnya dengan mencari gua yang didiami banyak kelelawar untuk menemukan patogen baru. Lebih khusus lagi, virus corona baru. 

"Kami telah mengumpulkan lebih dari 15 ribu sampel kelelawar, yang mengarah pada identifikasi sekitar 500 virus corona baru," katanya. Selain itu, salah satu dari temuan virus-virus tersebut ditemukan di sebuah gua di China pada 2013 dan kemungkinan nenek moyang dari COVID-19.

"Virus corona baru (penyebab COVID-19) cocok dengan sampel yang diambil dari kelelawar tapal kuda di sebuah gua di Yunnan pada 2013, 96,2 persen identik." tambah Daszak.

Penelitian virus corona

Sebelum epidemi SARS 2003, penelitian tentang virus corona tidak menarik banyak perhatian. "Itu tidak dilihat sebagai cabang seksi penelitian medis," kata Wang Linfa, seorang ahli virus dari Duke-NUS di Singapura, yang mengembangkan alat yang digunakan untuk menganalisa sampel yang dikumpulkan oleh EcoHealth Alliance.

Saat itu hanya ada dua virus corona manusia yang telah diidentifikasi, keduanya ditemukan pada 1960-an. Pada 2009, Predict didirikan dan didanai oleh USAID, dipimpin oleh University of California Davis, bersama EcoHealth Alliance, Smithsonian Institution, Wildlife Conservation Society dan Metabiota, sebuah perusahaan California yang telah mengembangkan pelacak epidemi.

Badan-badan tersebut bertugas mengidentifikasi dan merespons penyakit zoonotik baru, termasuk virus corona, sebelum menyebar ke manusia. Sejak pendiriannya, lima jenis virus corona manusia telah diidentifikasi, termasuk nenek moyang COVID-19. Daszak memperkirakan bahwa kelelawar memiliki 15 ribu virus corona, hanya beberapa ratus di antaranya yang saat ini diketahui.

Organisasi yang menaungi Daszak berfokus melakukan penelitian di China barat daya, lebih khusus pada gua kapur yang berada di Provinsi Yunnan, yang dikenal dengan populasi kelelawar yang besar. "Kami menargetkan China pada awalnya karena kami mencari asal-usul SARS ... Tapi kemudian kami menyadari bahwa ada ratusan virus corona berbahaya lainnya di sana, jadi kami memutuskan untuk mengalihkan perhatian kami untuk menemukannya," jelas Daszak. 

Predict beroperasi di 31 negara. Tim pemburu virus lain, milik Smithsonian Institution, fokus di Myanmar dan Kenya. "Ini adalah daerah dengan banyak keanekaragaman hayati satwa liar, populasi manusia yang terus bertambah merambah habitat alami, jaringan perjalanan yang baik dan sejumlah besar ternak, yang berarti ada potensi tinggi untuk penyebaran virus antar spesies," kata Dawn Zimmerman, yang memimpin beberapa ekspedisi pengambilan sampel virus Smithsonian Institution.

Untuk membuat perpindahan ke manusia, virus corona harus dapat mengikat reseptor sel mereka, yang biasanya membutuhkan inang hewan perantara. Inang tersebut bisa berupa musang, unta, trenggiling, atau mamalia lain yang terkait erat dengan manusia. Tetapi virus corona juga bisa langsung menular melalui kelelawar. Namun, hanya kelelawar yang membawa proporsi virus sangat tinggi yang mampu menginfeksi manusia, seperti penyebab Marburg, Nipah, Ebola dan SARS. 

"Karena kelelawar mamalia terbang, tubuh mereka terpapar banyak stres, yang biasanya akan menghasilkan respons sistem kekebalan. Untuk menghadapi ini, mereka harus menurunkan sistem kekebalan tubuh mereka, yang membuat mereka lebih rentan terhadap virus dan mampu mentoleransi pengeluaran virus yang lebih tinggi,” jelas Daszak. 

Kelelawar juga membentuk sekitar 20 persen dari semua spesies mamalia dan berkumpul di koloni besar di gua-gua yang ramai, membuat penyebaran virus di antara kelelawar lebih besar.