Bagikan:

JAKARTA - Merebaknya wabah virus corona baru (2019-nCoV/Flu Wuhan), membuat banyak orang takut mengunjungi China. Banyak bandara-bandara yang melakukan pemeriksaan terhadap turis China, bahkan ada larangan bagi turis China untuk memasuki negaranya. Namun ada salah seorang peniiti justru berharap dapat diizinkan mengunjungi Kota Wuhan, daerah yang menjadi penyebar virus corona di China. 

Dia adalah Rolf Hilgenfeld, seorang peneliti virus corona asal Jerman dan profesor di Universitas Lubeck. Hilgenfeld berhasil mengembangkan obat untuk virus corona pada 2002-2003, ketika virus SARS juga mewabah di China. 

Hilgenfeld berharap bisa datang ke Wuhan, bergabung dengan para peneliti di sana untuk menguji dua senyawa pada hewan yang terinfeksi virus corona. Kandidat obat tahap awal belum siap digunakan pada manusia, tetapi Hilgenfeld ingin memulai pengujian pada hewan dengan tujuan mengembangkan perawatan untuk wabah virus corona di masa depan.

Hilgenfeld mengatakan ia hendak membawa dua inhibitor yang telah dikembangkan untuk SARS-CoV. Hal tersebut Hilgenfeld lakukan untuk menguji efeknya terhadap 2019-nCoV yang mewabah pertama kali di Wuhan. 

Dikutip dari Xinhua, Senin 27 Januari 2020, para ilmuwan telah menemukan bahwa 2019-nCov memiliki kemiripan dengan SARS-CoV sebesar 80 persen. Hilgenfeld berharap bahwa inhibitor yang telah ia kembangkan selama ini dapat membantu penelitian untuk obat 2019-nCov.

Dalam sebuah wawancara, Hilgenfeld mengatakan, percobaan pada 2019-nCov akan dilakukan pada tikus dan percobaan toksikologi akan dilakukan untuk menghilangkan efek samping lain yang mungkin disebabkan oleh obat-obatan. Produksi massal akan dilakukan jika inhibitornya lolos uji klinis.

"Virus corona dapat membatasi diri. Setelah jangka waktu tertentu, ketika cukup banyak orang memproduksi antibodi, virus berangsur-angsur berkurang, sehingga mengakhiri penyebaran epidemi," kata Hilgenfeld.

Saat diwawancara, Hilgenfeld mendapatkan pertanyaan apakah ia tidak khawatir tertular virus corona yang telah mematikan 80 orang tersebut. Hilgenfeld mengaku bahwa ia tidak khawatir karena pernah berada di situasi yang sama saat meneliti obat untuk SARS. 

"Saya memiliki situasi yang sama saat pergi ke Beijing pada 2003 untuk penelitian SARS. Saya berada di penerbangan bersama delapan orang. Saya harus transit di Jepang karena tidak ada penerbangan dari Eropa. Di Wuhan, saya akan memakai masker wajah setiap saat," ujar Hilgenfeld. 

Sekadar informasi, sebuah studi yang dilakukan oleh ilmuwan China menyatakan bahwa virus corona Wuhan dan SARS berasal dari 'nenek moyang' yang sama, yaitu virus betacorona yang biasanya ditemukan pada kelelawar. Namun, virus itu tidak bisa ditularkan ke manusia tanpa perantara. Para peneliti masih berusaha mencari tahu hewan mana yang benar-benar menjadi penyebab penyebaran virus corona di Wuhan.

Tak hanya itu, sebuah studi yang dirilis oleh sekelompok ilmuwan China juga mengatakan bahwa virus corona kemungkinan besar dari ular. Kode protein virus corona paling mirip dengan kode protein virus yang ada pada ular. Ular dan kelelawar merupakan makanan eksotis yang kerap dikonsumsi di China.