Produsen Vaksin COVID-19 Sputnik V Rusia Tuntut Otoritas Brasil
Ilustrasi vaksin Sputnik V. (Wikimedia Commons/Casa Rosada)

Bagikan:

JAKARTA - Pengembang vaksin COVID-19 asal Rusia Sputnik V, mengumumkan rencananya untuk melakukan tuntutan pencemaran nama baik terhadap regulator kesehatan Brasil, Anvisa. 

Dewan Anvisa pada Senin pekan ini membantah permintaan negara bagian Brasil untuk menyetujui impor Sputnik V. Manajer Anvisa untuk obat-obatan dan produk biologi Gustavo Mendes mengatakan, ada bukti adenovirus yang digunakan dalam vaksin dapat berkembang biak, yang disebutnya cacat serius.

Adenovirus, kategori virus yang dapat menyebabkan berbagai penyakit pada manusia seperti flu biasa, terkadang digunakan kembali sebagai vektor virus untuk vaksin. 

Vektor virus semacam itu sering digunakan untuk mengangkut materi genetik untuk protein, dalam hal ini, dari novel coronavirus, untuk memperoleh respons imun dari individu yang divaksinasi.

Namun, pedoman kesehatan global memperingatkan terhadap 'replication-competent adenoviruses' (RCA) yang dapat berkembang biak di dalam tubuh pasien, kemungkinan menciptakan reaksi negatif.

Denis Logunov, yang mengembangkan Sputnik V di Institut Gamaleya Rusia, membantah dua adenovirus yang digunakan unutk menghasilkan vaksin dapat bereplikasi, selang sehari setelah pernyataan Mendes.

Akun Twitter resmi Sputnik V pada Hari Kamis mengutip Mendes, yang mengutip hasil tes Institut Gamaleya pada audiensi publik pada Hari Senin sebagai dasar untuk menolak izin impor.

"Menyusul pengakuan regulator Brasil Anvisa bahwa mereka tidak menguji vaksin Sputnik V, Sputnik V melakukan proses pencemaran nama baik di Brasil terhadap Anvisa, karena dengan sengaja menyebarkan informasi palsu dan tidak akurat," kata tweet Sputnik V.

"Anvisa membuat pernyataan yang salah dan menyesatkan tanpa menguji vaksin Sputnik V," tegas pernyataan tersebut.

Dalam konferensi pers pada Hari Kamis, pejabat Anvisa menolak tuduhan berat dan bersikeras, dokumen Institut Gamaleya sendiri menandai tingkat RCA yang berpotensi berisiko dalam vaksin yang telah selesai.

"Data yang disajikan oleh Gamaleya Institute menunjukkan keberadaan dan penerimaan virus yang mereplikasi dalam produk jadi," tukas Mendes.

"Spesifikasi itu 300 kali lebih tinggi dari ambang batas tertinggi yang dapat kami temukan," imbuhnya.