Bagikan:

JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) menegaskan bahwa dalam perkara korupsi, kerugian negara harus bersifat nyata, bukan hanya sebatas potensi.

"Kerugiannya harus nyata, itu berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25 Tahun 2016, dan telah diumumkan oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) bahwa korupsi harus nyata," kata Juru Bicara MA, Yanto, dikutip ANTARA, Kamis 2 Januari.

Yanto menjelaskan bahwa dalam keputusan tersebut, hakim mengacu pada Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang telah diputuskan melalui Putusan MK Nomor 25 Tahun 2016.

Dalam putusan itu, Mahkamah berpendapat bahwa penerapan unsur kerugian negara sebaiknya menggunakan konsep actual loss (kerugian nyata) untuk memberikan kepastian hukum yang adil, serta untuk menyelaraskan instrumen hukum nasional dan internasional.

Ketika ditanya oleh para jurnalis mengenai potensi kerugian negara akibat kerusakan lingkungan pada kasus yang melibatkan terdakwa Harvey Moeis, Yanto menyatakan bahwa ia tidak bisa membahas perkara tersebut secara spesifik.

Namun, ia menekankan bahwa dari sudut pandang hukum, kerugian negara akibat kerusakan lingkungan masih dianggap sebagai potensi, bukan kerugian yang sudah terbukti nyata.

“Secara teori, dalam tindak pidana korupsi, kerugian negara tidak lagi dianggap sebagai potential loss, tetapi harus merupakan actual loss, yang artinya kerugiannya harus nyata. Itu semua berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25 Tahun 2016, dan diumumkan oleh BPK,” ujarnya.