Bagikan:

JAKARTA - Indonesia Memanggil (IM) 57+ Institute mengkritisi pernyataan Presiden Prabowo Subianto soal pengampunan bagi koruptor asal mengembalikan uang negara. Gagasan ini dianggap blunder karena tak akan menyelesaikan persoalan mendasar dalam upaya memberantas korupsi.

"Pemaafaan akan berpotensi membuat tidak diterapkannya efek jera dalam pemberantasan korupsi sehingga bukan menurunkan malah meninggikan potensi korupsi," kata Ketua IM 57+ Institute, Lakso Anindito kepada wartawan dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Jumat, 20 Desember.

Lakso menilai Prabowo harusnya menyebut pengembalian itu bukan mengampuni tapi memperingan hukuman. "Hal ini bisa menjadi blunder karena ini berpotensi tidak menyelesaikan persoalan mendasar bahwa korupsi bukan terjadi hanya pada masa lalu tapi saat ini juga," ujarnya.

"Selain itu pada tataran teknis akan memberikan hambatan. Justru ketika mengembalikan mendapatkan keringanan maka itu lebih rasional dilakukan," sambung Lakso.

Meski begitu, Lakso melihat Prabowo memang menyinggung persoalan pemulihan aset dan harus diapresiasi. Sebab, penegak hukum kerap melupakan hal ini.

Tapi, untuk merealisasikannya perlu arah konkrit. "Hal tersebut untuk menindaklanjuti agar kekhawatiran kebocoran tidak sekadar menjadi jargon. Ini juga sesuai arah pidato presiden terakhir yang menyoroti soal pemulihan aset," jelas Lakso.

Diberitakan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto minta koruptor mengembalikan uang yang telah dicuri dari negara. Langkah ini disebutnya bisa membuat mereka mungkin saja dimaafkan.

Pernyataan ini dilontarkan Prabowo saat bertemu mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, Rabu, 18 Desember.

"Saya dalam minggu-minggu ini, bulan-bulan ini, saya dalam rangka memberi kesempatan, memberi kesempatan untuk tobat. Hei para koruptor, atau yang pernah merasa mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan, tapi kembalikan dong," ujar Prabowo seperti ditayangkan dalam YouTube Setpres, Kamis.

"Nanti kita beri kesempatan. Cara mengembalikannya bisa diam-diam supaya tidak ketahuan. Mengembalikan loh ya, tapi kembalikan," sambungnya.

Sementara itu, Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Humham Imipas) Yusril Ihza Mahendra mengatakan pernyataan Prabowo sebagai strategi pemberantasan korupsi. Dia menyinggung United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC) yang diratifikasi menjadi UU Nomor 7 Tahun 2006.

"Sebenarnya setahun sejak ratifikasi, kita berkewajiban untuk menyesuaikan UU Tipikor kita dengan konvensi tersebut," kata Yusril dalam pernyataan tertulisnya, Kamis, 19 Desember.

"Namun kita terlambat melakukan kewajiban itu dan baru sekarang ingin melakukannya. Penekanan upaya pemberantasan korupsi sesuai pengaturan konvensi adalah pencegahan, pemberantasan korupsi secara efektif dan pemulihan kerugian negara atau asset recovery," sambungnya.

Yusril menyebut pernyataan Prabowo tersebut menjadi gambaran perubahan filosofi penghukuman berdasarkan KUHP Nasional pada awal tahun 2026. Penjatuhan pidana nantinya bukan menekankan balas dendam maupun efek jera tapi keadilan korektif, restoratif dan rehabilitatif.

"Kalau hanya para pelakunya dipenjarakan, tetapi aset hasil korupsi tetap mereka kuasai atau disimpan di luar negeri tanpa dikembalikan kepada negara, maka penegakan hukum seperti itu tidak banyak manfaatnya bagi pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Kalau uang hasil korupsi mereka kembalikan, pelakunya dimaafkan, uang tersebut masuk ke APBN untuk mensejahterakan rakyat" ungkap Yusril.

"Jadi penegakan hukum dalam menangani korupsi harus dikaitkan dengan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat, bukan bertujuan hanya untuk memenjarakan pelakunya," jelasnya.