JAKARTA - Sejak awal tahun 2020, dunia mulai menyadari bahaya pandemi virus corona (SARS-CoV-2) atau yang lebih dikenal COVID-19. Tak banyak negara yang berhasil mengantisipasi virus penyakit yang menyerang sistem pernapasan dan imun ini.
Tak perlu waktu lama, semenjak virus ini berhasil diidentifikasi badan kesehatan dunia (WHO). Virus corona dengan cepatnya menginfeksi sejumlah orang termasuk di luar Kota Wuhan, China.
Kerabat terdekat China, Taiwan pun ikut terdampak COVID-19. Namun berbeda dengan negara kebanyakan, Taiwan berhasil mengontrol ketat angka penularan dan penyebaran virus corona dalam sepuluh pekan, sejak pandemi ini mulai merebak secara global.
Jumlah pasien positif yang terinfeksi COVID-19 di Taiwan berhasil ditekan habis-habisan, agar tidak sampai melewati angka 400 kasus. Kenapa hal tersebut bisa terjadi, jawabannya adalah pelajaran di masa lalu saat Taiwan menghadapi wabah SARS pada 2003 silam.
Selama wabah SARS, Taiwan adalah salah satu wilayah yang paling parah dampaknya, sama seperti dengan Hong Kong dan China Selatan. Lebih dari 150.000 orang dikarantina di Taiwan dan 181 orang meninggal dunia.
BACA JUGA:
Memang wabah penyakit SARS tak bisa dibandingkan dengan pandemi COVID-19 saat ini. Namun SARS memberikan bayangan singkat, kepada sebagian besar negara di Asia tentang kesiapan pemerintah untuk merespon wabah penyakit di masa depan.
Hal ini membantu banyak negara di kawasan itu bereaksi lebih cepat terhadap wabah COVID-19 saat ini dan mengambil keputusan lebih serius daripada di bagian lain dunia, baik di tingkat pemerintah maupun masyarakat. Area-area di wilayah seperti Taiwan berani mengontrol perbatasan dan pemakaian masker secara masif dengan cepat menjadi sebuah.
Sebagaimana dirangkum dari CNN, Taiwan memiliki sistem kesehatan kelas dunia, dengan cakupan universal. Ketika berita tentang COVID-19 mulai muncul dari Wuhan saat Tahun Baru Imlek, para pejabat di Pusat Komando Kesehatan Nasional (NHCC) Taiwan langsung bergerak cepat untuk menanggapi potensi ancaman.
"Taiwan dengan cepat menghasilkan dan mengimplementasikan sedikitnya 124 item tindakan dalam lima minggu terakhir untuk melindungi kesehatan masyarakat," kata Jason Wang, seorang dokter di Taiwan dan profesor di Stanford Medicine.
"Kebijakan dan tindakan melampaui kontrol perbatasan karena mereka mengakui bahwa itu tidak cukup." tambahnya.
Taiwan sudah mulai mengontrol perbatasan ketika negara-negara lain masih memperdebatkan tindakan apa yang harus dilakukan. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada Januari, Universitas Johns Hopkins mengatakan Taiwan adalah salah satu daerah paling berisiko di luar China daratan karena kedekatan, ikatan, dan hubungan transportasi dengan China.
Di antara langkah-langkah awal yang menentukan adalah keputusan untuk melarang perjalanan dari dan ke China daratan, melarang kapal pesiar dari China daratan untuk berlabuh, dan memberlakukan hukum yang ketat bagi siapa pun yang melanggar perintah karantina rumah.
Selain itu, otoritas Taiwan juga bergerak untuk meningkatkan produksi masker dalam negeri untuk memastikan pasokan aman, meluncurkan pengujian, dan memberikan hukuman bagi penyebar disinformasi terkait COVID-19.
"Mengingat penyebaran terus-menerus COVID-19 di seluruh dunia, memahami tindakan yang diterapkan dengan cepat di Taiwan, dan efektivitas tindakan ini dalam mencegah epidemi skala besar, dapat menjadi pelajaran bagi negara-negara lain," kata Wang dan rekannya.
"Pemerintah Taiwan belajar dari pengalaman SARS pada 2003 dan membentuk mekanisme respons kesehatan masyarakat untuk tindakan cepat untuk krisis berikutnya. Otoritas yang terlatih dan berpengalaman dengan cepat mengenali krisis dan mengaktifkan struktur manajemen darurat untuk mengatasi wabah yang muncul," tambah Wang.
Sadly, there are reports from of an increase in domestic violence since the #COVID19 outbreak began. We call on countries to include services to #EndViolence as an essential service that must continue during the response. There is never any excuse for violence. pic.twitter.com/Z4MQN0JwRf
— Tedros Adhanom Ghebreyesus (@DrTedros) April 4, 2020
Respons cepat dan transparan dari otoritas Taiwan menjadi sebuah contoh bagaimana demokrasi dapat mengendalikan epidemi, bahkan ketika dunia mengklaim hanya China efektif mengendalikan virus. Taiwan pun sangat menghindari keputusan sejenis lockdown, cara China dan banyak negara di dunia untuk menekan penyebaran COVID-19.
Taiwan berada dalam posisi yang kuat sekarang, setelah berminggu-minggu melarang ekspor masker untuk memastikan pasokan di dalam negeri aman. Otoritas Taiwan mengatakan bahwa mereka akan menyumbangkan 10 juta masker ke Amerika Serikat, Italia, Spanyol, dan sembilan negara Eropa lainnya. serta negara-negara kecil yang memiliki hubungan diplomatik dengan Taiwan.
Benturan Masalah Politik
Kabar keberhasilan Taiwan dalam mencegah wabah COVID-19 melebar, tertutup oleh kasus COVID-19 yang memburuk di Eropa dan AS. Oleh karena itu, dirasa cukup terlambat untuk belajar dari Taiwan sekarang.
Banyak negara yang tidak mengikuti jejak Taiwan pada Januari dan Februari, atau tepatnya ketika mereka masih memiliki kesempatan yang lebih banyak. Salah satu faktor potensial yang berkontribusi yang dikatakan oleh banyak pengamat adalah bahwa Taiwan bukan anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Taiwan diklaim oleh China sebagai bagian dari wilayahnya dan otoritas China menghalangi Taiwan untuk berpartisipasi dalam banyak organisasi internasional kecuali jika hal itu dilakukan atas nama 'satu China', seperti menyebut diri mereka 'China Taipei'.
Wow, can’t even utter “Taiwan” in the WHO? You should set politics aside in dealing with a pandemic. FYI @WHO, 450+ news reports from 40+ countries so far positively covered #Taiwan’s handling of #COVID19. These reports do not mistake us as part of China & #TaiwanCanHelp. JW https://t.co/KbupbUb7NG
— 外交部 Ministry of Foreign Affairs, ROC (Taiwan) 🇹🇼 (@MOFA_Taiwan) March 29, 2020
Kurangnya informasi mungkin memaksa Taiwan untuk melakukan keputusannya sendiri dan sedini mungkin secara independen dari panduan WHO dan konsensus internasional yang lebih luas. Otoritas Taiwan berulang kali mengeluh bahwa pengucilan mereka dari WHO mencegah Taiwan memainkan peran penuh dalam respons global.
"Kami ingin membantu, mengirim dokter-dokter hebat kami, peneliti hebat kami, perawat hebat kami, dan untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman kami dengan negara-negara yang membutuhkannya," kata Chen Chien-jen, seorang ahli epidemiologi dari Johns Hopkins.
"Kami ingin menjadi masyarakat global yang baik dan memberikan kontribusi, tetapi saat ini kami tidak mampu," tukasnya.