Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komisi II DPR Ahmad Irawan menyoroti fenomena kemenangan kotak kosong dan golput di Pilkada 2024. Menurutnya, pemilihan kepala daerah yang dilakukan serentak di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota itu mengalami anomali yang tidak masuk akal.

"Adanya fenomena kotak kosong, apalagi kotak kosong yang kemudian menang dalam pemilihan merupakan suatu anomali dan tidak masuk akal (absurd). Menangnya kotak kosong merupakan suatu dinamika sosial politik yang harus dicermati," ujar Ahmad Irawan, Senin, 2 Desember. 

Menurutnya, fenomena kemenangan kotak kosong berpotensi merugikan negara. Seharusnya, kata dia, jika memang rakyat menginginkan kepemimpinan alternatif, maka gerakan itu harus ada sejak proses pencalonan. 

"Toh ada mekanisme perseorangan (independen) jika tidak mampu dan tidak menginginkan calon yang diusung oleh partai politik. Aspirasi atas kepemimpinan alternatif seharusnya tidak hanya pada saat proses pemberian suara (voting day), namun juga bisa mulai sejak awal di proses pencalonan. Akhirnya potensial juga Negara dirugikan karena harus keluar biaya lagi untuk dilakukan pemilihan ulang,” kata Irawan.

Irawan lantas menyoroti bagaimana dua pilkada di Provinsi Bangka Belitung (Babel) dikalahkan oleh kotak kosong walaupun baru versi hitung cepat. Di mana paslon Maulan Aklil (Mole) dan Masagus M Hakim yang merupakan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Pangkalpinang kalah telak dari kotak kosong yang meraih 48.528 suara atau 57,98 persen. Paslon petahana itu hanya memperoleh 35.177 suara atau 41 persen.

Sementara pasangan bupati-wakil bupati Bangka, Mulkan-Ramadian hanya berhasil meraup 50.443 suara atau 42,75 persen, sehingga pasangan calon petahana tersebut untuk sementara kalah dari kotak kosong yang unggul dengan perolehan 57,25 persen. Irawan mengaku menyayangkan fenomena tersebut. 

“Saya sendiri berpendapat yang dipilih dan berhak dipilih di tempat pemungutan suara dan di dalam surat suara adalah yang telah mengikuti proses pencalonan,” sebut Irawan. 

Lebih lanjut, Legislator dari Dapil Jawa Timur V itu menjelaskan bahwa hak untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be candidate) merupakan hak konstitusional dan merupakan perwujudan dari kesetaraan dan partisipasi dalam hukum dan pemerintahan (equality before the law).

“Mengenai hak untuk dipilih dalam pemilihan kepala daerah, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945) telah memberikan jalan konstitusional untuk dapat dicalonkan melalui jalur perseorangan (independen) atau melalui jalur partai politik,” jelasnya.

Irawan menilai, adanya calon perseorangan merupakan suatu realitas baru dan telah menimbulkan kesadaran konstitusional tentang adanya kesempatan perorangan untuk dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pilkada.

"Karena partai politik juga dibebani syarat minimum dukungan kursi di DPRD atau jumlah perolehan suara minimal tertentu untuk mengajukan pasangan calon," ungkap Irawan.

Menurut Irawan, banyak daerah untuk Pilkada 2024 yang menggunakan bentuk dukungan partai politik dengan basis jumlah perolehan suara partai politik karena lebih mudah, bukan kursi di DPRD.

“Kenapa perlu syarat dukungan? agar warga negara yang maju dalam pemilihan bersungguh-sungguh dalam mengikuti proses pemilihan kepala daerah," tutur anggota dewan yang juga bertugas di Badan Legislasi (Baleg) tersebut.

Ditambahkan Irawan, syarat dukungan juga sebagai upaya untuk menjaga nilai dan kepercayaan rakyat terhadap proses pemilihan kepala daerah dan demokrasi. Jika tidak, kepercayaan rakyat terhadap sistem demokrasi akan turun, serta serta ada kecenderungan dan potensial juga untuk dipermainkan secara tidak bertanggungjawab.

"Sehingga menurut saya, Negara sebenarnya telah memberikan kemudahan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah (Gubernur/Bupati/Walikota)," kata Irawan.